Rabu, 31 Desember 2014

Bisakah teman semuanya mengunjungi blog baruku
www.aphriephoenix.wordpress.com
Gumawoo...ehmm banyakan kisahnya.exo sebenernya...enggg Kyu lagi hiatus dulu...mian

Minggu, 16 Maret 2014

sapaan untuk semua teman

anyeong...



tidak tahu jika semua sudah sejauh ini,,,apa kabar teman semua sudah aku coba jadi sekarang aku tengah berpikir untuk berhenti mengeluh meskipun aku ingin mengakhirinya



sapa aku di fb aja ya..
Hafiezah Aissyah Salsabila

Rabu, 12 Maret 2014

Friends sreies Kris_Lee Hanna

 
Pandangan Hanna terpaku pada seorang murid perempuan yang sedang memberikan sekotak coklat pada Kris di tangga sekolah saat pulang sekolah. Kris hanya menerimanya tanpa ekspresi apapun, sedangkan gadis itu pergi dengan tersipu. Hanna memang cemburu tapi dia tidak mau menunjukannya, tapi matanya melotot saat Kris menghampiri tempat sampah di ujung tangga.
"Tunggu!" Hanna berlari menuruni tangga, dia berhenti di depan Kris. Kris hanya menyerngitkan dahi menatap kemunculan Hanna tiba-tiba. "Kau tidak boleh membuangnya! Gadis itu memberimu penuh ketulusan.''
"Aku tidak suka coklat,''
"Lalu apa kau harus membuangnya! Kau bisa menyimpannya!"
"Apa aku harus membiarkannya membusuk di kamarku, dan jadi sampah di sana.''
"Kau memang tidak punya perasaan.''
"Aku memang seperti itu.'' Kris tersenyum sinis.
"Kau harusnya bisa menghormati pemberian orang, dia mungkin saja menggunakan semua uang jajannya hanya untuk membeli coklat mahal ini.''
"Untukmu.'' Kris melempar kotak coklatnya kepada Hanna.
"Heh?'' Hanna menangkap kotak coklat itu dengan terkejut.
"Kau bisa mengambilnya kalau kau mau menganggap itu terlalu berharga untuk masuk ketempat sampah. Bukankah kau penggila coklat.'' Kris berkata dan pergi.
"Hoh!" Hanna mendengus kesal. "Dia tercipta untuk membut gadis-gadis patah hati.''
Hanna memandangi kotak coklat di tangannya. Diapun tersenyum dan memasukan coklat itu kedalam tasnya, dia memang sangat menyukai coklat, jadi tidak mungkin dia akan membuang makanan yang jadi favoritnya. Hanna kembali menuruni tangga, langkah Hanna terhenti di lantai 1, dia melihat gadis yang tadi memberikan coklat kepada Kris, satu ide muncul di kepalanya.
"Ya! Kau!" Hanna berteriak memanggil gadis itu.
Gadis berambut sebahu itu menoleh bersamaan dengan dua temannya. Ketiga gadis itu saling berpandangan dan kembali menoleh pada Hanna yang menghampiri mereka. Hanna memasang wajah seangkuh mungkin.
"Kau! Gadis yang berani mengganggu Kris-ku!" Hanna mengacungkan telunjuknya pada gadis yang tadi di lihatnya, gadis itu terlihat takut, apalagi Hanna semakin mendekat sampai di depannya. Tangan Hanna meraih name tag di seragam gadis itu. "Hah, Nam Yoori. Kau dari kelas mana? Apa kau tidak tahu kalau Kris itu milikku?''
"Ya! Sunbae, kami tahu kau satu kelas dengan Kris sunbae, tapi tidak ada yang mengatakan kau pacarnya.'' Salah satu teman Yoori berkata.
"Ho! Kau berank padaku!" Hanna mendorong bahu teman Yoori.
"Kau kira aku tidak berani,'' Teman Yoori menyingkirkan tangan Hanna.
"Aish, gadis ini!" Hanna sudah akan kembali melayangkan tangannya tapi sebuah suara menghentikannya.
"Ya! Lee Hanna.'' Kris memanggil.
"Kris.'' Hanna panik.
"Apa yang kau lakukan dengan mereka?'' Kris berjalan menghampiri mereka.
"Bukankah kau sudah pergi?'' Hanna menjadi gugup.
"Aku baru dari perpustakaan menemui Lay, apa yang kau lakukan dengan mereka?''
"Oppa, dia memarahiku karena memberimu coklat.'' Yoori berkata dengan manja.
"Aish,'' Hanna menatap tajam Yoori, tapi gadis itu tidak takut seperti tadi karena sekarang ada Kris.
"Dia juga bilang kalau kau miliknya,'' Yoori dengan sedikit takut berkata.
"Aighoo.'' Hanna berkacak pinggang. "Kalian berani bicara hanya karena ada Kris, apa kau kira Kris akan membela kalian, apa kau kira Kris menerima coklatmu, tidak.'' Hanna membuka tasnya, dia mengeluarkan kotak coklat milik Yoori.
"Kenapa itu ada padamu?'' Yoori terlihat sedih.
"Kris memberikan padaku, kenapa? Kau kecewa? Ambil.'' Hanna melempar dengan kasar kotak coklat itu kepada Yoori.
"Apa kau perlu melakukan hal seperti itu?'' Kris berkata pada Hanna.
"Kenapa? Apa kau tidak suka gadis ini terluka? Itu lebih baik daripada kau membiarkannya terus menganggapmu bisa membalas cintanya.'' Hanna melangkah pergi.
"Oppa,'' Yoori memegang coklatnya dengan sedih.
"Kau bisa memakan itu untukmu sendiri.'' Kris juga pergi meninggalkan ketiga gadis itu.



Hanna mengikuti Sehun yang keluar saat bel istirahat berbunyi. Hanna ingin tahu apakah pria itu menemui Kris yang sudah keluar beberapa menit yang lalu. Dia harus melihatnya sendiri kalau keduanya Gay. Hanna terus mengikuti Sehun naik ke atap sekolah. Tapi saat dia sampai di atap sekolah Sehun hanya sendiri.
"Kenapa kau mengikutiku?'' Sehun yang duduk di lantai atap sekolah dengan bersandar pada dinding di sebelah pintu.
"Dimana Kris?'' Hanna tidak menjawab, dia justru mengabaikan kalau dia sudah tertangkap menguntit.
"Kalau tidak ada di sini berarti dia bersama yang lain.''
"Lalu kenapa kau di sini sendirian.''
"Untuk ini,'' Sehun mengeluarkan sebatang rokok dari kotak rokok dan menyulunya.
"Jadi kalian kemari untuk merokok?'' Hanna duduk di sebelah Sehun.
"Lalu apa yang kau pikirkan?''
"Tidak ada?'' Hanna tersenyum, dia senang prasangkanya salah. "Kris juga kemari untuk merokok?''
"Kenapa? Kau tidak suka?''
"Bukan begitu,'' Hanna menggeleng. "Tapi kenapa harus di sini.''
"Tidak ada guru kemari.''
Tiba-tiba pintu terbuka, Sehun buru-buru menarik Hanna untuk sembunyi, tapi Sehun kembali lega saat mengetahui yang datang adalah Kris. Kris terkejut melihat Hanna dan Sehun yang muncul dari balik tembok dengan berpegangan tangan.
"Apa yang kalian lakukan di sini?'' Kris bertanya, pandangannya tertuju pada kedua tangan sahabatnya, baik Hanna ataupun Sehun langsung melepaskan tangan mereka satu sama lain.
"Sebaiknya aku pergi.'' Hanna tersenyum pada Sehun dan melewati Kris tanpa berkata apapun.
"Apa kalian berkencan?'' Kris bertanya pada Sehun begitu Hanna pergi.
"Apa kau cemburu?''
"Tidak.''
Meskipun Kris mengatakan tidak cemburu tapi pikirannya terus memikirkan tangan Sehun dan Hanna yang berpegangan. Apakah Hanna sudah berpaling? Kris terus bertanya dalam hati, bahkan sampai pelajaran kembali di mulai, pikiran Kris masih di penuhi genggaman tangan Sehun pada tangan Hanna.



Gadis bernama Yoori ternyata tidak jera untuk mendekati Kris, bahkan gadis ini berani menghampiri Kris saat kelas 2.6 olah raga di lapangan bola. Yoori memberikan sebotol air mineral. Hanna yang melihat Kris menerima pemberian Yoori dengan tersenyum tentu saja kesal, tanpa di sadarinya dia melangkah mendekati Kris dan merebut botol itu dari tangan Kris lalu membantingnya. Seluruh anak sekelas mereka menatap kejadian itu.
"Hanna, apa yang kau lakukan?'' Kris berkata.
"Kalau kau menerima seorang gadis harusnya kau mencari yang lebih cantik dariku!" Hanna berteriak marah, dia lalu memandang Yoori. "Dan Kau! Kenapa kau mengganggu pelajaran kelas lain! Kau bukan anak kelas 2.6! Kenapa kau kemari!"
"Hanna,'' Kris mencoba menenangkan Hanna.
Nana langsung berlari menarik Hanna, begitupun Rara dan Nayeon. Ketiganya menarik Hanna pergi dari lapangan. Hanna akhirnya di bawa ke klinik sekolah.
"Kau pergilah, dan jangan mendekatiku lagi.'' Kris berkata pada Yoori.
"Oppa,''
"Aku tidak ingin menyakiti Hanna.''
"Oppa,'' Yoori berkaca-kaca, dia berlari pergi dengan menahan air matanya.
"Apa yang terjadi.'' Guru Kang muncul. "Kenapa kalian belum memulai permainan.'' perkataan Guru Kang membuat murid-murid kembali ke posisinya.
"Bukankah Hanna terus menyukaimu meskipun dia mengatakan akan berhenti menyukaimu,'' Lay merangkul Kris.
"Dia harusnya menyukaiku saja.'' Jongin bergumam.
"Bukankah kau bilang menyukai Rara!" Sehun memukul kepala Jongin.
"Aku tersenyuh dengan keteguhan Hanna.'' Jongin berpura-pura menangis.
"Kau tidak dekat dengan gadis manapun lalu kenapa kau menolak Hanna?'' Sehun bertanya.
"Karena pada akhirnya kami akan berpisah. Dia terlalu baik jika harus aku tinggalkan.'' Kris berkata.
"Memangnya kau mau kemana?'' Lay menatap Kris.
"Akhir semester nanti, aku harus kembali ke Canada.'' Kris tersenyum getir.





"Ya! Kris! Lay! kenapa kalian masih belum bermain!" Guru Kang berteriak melihat keempat muridnya masih di luar garis lapangan. "Sehun! Jongin! Apa yangn kalian lakukan.''
Kris bersama yang lain kembali bergabung dalam permainan sepak bola. Guru Kang tidak menyadari kalau dari murid-murid perempuannya yang duduk di tepi lapangan kurang empat orang. Kris menatap koridor menuju klinik, dia berharap Hanna baik-baik saja.



"Kau bilang akan mengakhiri cinta sebelah tanganmu! Lalu apa yang kau lakukan tadi!" Rara berkacak pinggang di depan Hanna.
"Aku tidak tahan melihat kelakuan Yoori.'' Hanna menjawab dengan kesal.
"Ho! Kau bahkan tahu nama gadis itu.'' Nana berkata.
"Aku pernah bertemu dengannya sebelumnya, saat dia memberikan coklat untuk Kris.''
"Aighoo. Apa ini yang di sebut mengakhiri cintamu! Kau terus memata-matainya!" Rara memukul kepala Hanna. Hanna hanya cemberut. "Bahkan kau sudah mempermalukan dirimu sendiri!"
"Sudahlah. Kenapa kau jadi memarahi Hanna.'' Nana menenangkan Rara.
"Seluruh anak satu kelas kita melihatmu begitu kasarnya melampiaskan cemburu, apa kau tidak memikirkannya. Kau akan di sebut gadia yang sangat terobsesi pada Kris.''
"Ah, aku tidak peduli. Aku tarik kalimatku untuk menjauh dari Kris, aku tidak bisa membiarkan siapapun mendektinya.'' Hanna berdiri dari tempat tidur klinik.
"Aku sudah menduga ini akan terjadi,'' Nayeon tersenyum.



Pelajaran olah raga sudah selesai, semua siswa kelas 2.6 kembali ke kelasnya setelh berganti seragam. Hanna dan ketiga temannya juga berjalan kembali ke kelasnya. Saat mereka berada di koridor depan kelas mereka, di sana ada Kris bersama Sehun di depan pintu masuk. Hanna mengirim pesan pada Kris. Kris merasakan ponselnya bergetar, dia memeriksanya dan membaca pesan dari Hanna.

From : Hanna
Aku selalu bisa melihatmu lebih dulu

Kris mencari keberadaan Hanna, dia melihat ke sekeliling dan menemukan Hanna tengah berdiri di ujung koridor. Hanna berdiri sendirian di tinggalkan ketiga temannya yang sekarang sudah melewati Kris. Satu pesan kembali masuk ke dalam ponsel Kris, dari Hanna.

From : Hanna
Aku tidak memintamu datang padaku, tapi aku yang akan datang padamu

Kris menatap Hanna setelah selesai membaca pesan itu. Hanna tersenyum dari kejauhan. Hanna melangkah ke arah Kris dengan tidak melepaskan tatapan matanya dari mata Kris. Langkah Hanna terhenti tiba-tiba, mereka hanya berjarak tidak lebih dari dua meter.
"Aku akan mendekatimu seperti ini,'' Hanna berjalan pelan, kemudian berhenti, berjalan lagi, dan behenti lagi sampai kemudian dia berhenti tepat di hadapan Kris. "Aku akan terus mendekatimu meskipun kau menghentikanku, terus, terus, terus sampai aku menempel padamu.'' Hanna berdiri begitu dekat dengan Kris, hingga Hanna memeluk Kris dengan tiba-tiba. "Dan akhirnya kau tidak lepas dariku.''
Kris masih terdiam dengan apa yang dilakukan Hanna, bahkan saat kepala Hanna berada di dadanya. Sehun hanya tersenyum menyaksikan sahabatnya mematung dengan pelukan Hanna. Suara sorakan dari dalam kelas membuat Kris teradar dan mendorong Hanna untuk menjauh dari tubuhnya. Hanna hanya tersenyum dengan kehebohan kelas.
"Aku harap kau menjaganya dengan baik.'' Teriak Minki, sang ketua kelas.
"Sebarkan undangan kalau pernikahan kalian terjadi.'' Terdengar teriakan Gidoek yang di sambut kegaduhan teman-teman yang lain.
Kris tidak peduli dengan semua kiributan itu, dia memasuki kelasnya dan duduk di mejanya. Lay tersenyum, dia memukul pelan dada Kris yang membuat pria itu langsung melotot.
"Ya! Hentikan! Atau aku membunuh kalian!" Kris berteriak saat keributan itu tidak juga berhenti. Sesaat kemudian semuanya diam tapi mereka masih berbisik-bisik tentang Hanna dan Kris.
"Pertunjukan yang bagus.'' Sehun menepuk punggung Hanna, dia melewati Hanna untuk masuk ke dalam kelas.
Hanna tersenyum dan berteriak. "Teman-teman, bantu aku mendapatkan Kris. Eoh!"
"Figthing!" Hampir seluruh teman sekelas Hanna berteriak.
"Aish, gadis ini.'' Kris menatap kesal ke arah Hanna. Lay justru tertawa. Sedangkan Sehun tersenyum, dan Jongin ikut berteriak bersama yang lain.
"Oh...dia benar-benar memalukan.'' Rara menutup wajahnya.
"Hanna! Aku mendukungmu!" Teriak Nana.
"Aku juga mendukungmu!'' Nayeon ikut berteriak.
"Aighoo...'' Rara menjatuhkan kepalanya di atas meja, menyembunyikannya di antara dua tangannya.
"Kenapa begitu ribut!" Tiba-tiba datang Guru Park. Dia memandang Hanna yang berdiri di depan papan tulis. "Apa yang kau lakukan?''
"Dia baru saja menyatakan cinta pada Kris.'' Teriak Gideok.
"Lebih tepatnya lamaran cinta yang ke seribu kali!" Jongin ikut berteriak membuat Kris semakin kesal.
"Jadi keributan ini karena kau.'' Guru Park menatap Hanna lebih tajam. "Kalau begitu, kau berdiri di koridor sampai pelajaranku selesai."
"Tapi, Saem.'' Hanna cemberut.
"Nilaimu selalu buruk dalam pelajaran Bahasa inggris tapi kau membuat keributan juga di kelas jadi itu hukuman untukmu.''
"Baik.'' Hanna berjalan keluar kelas dengan lesu.
"Siapa yang masih ingin membuat lelucon, aku akan mengeluarkannya juga.'' Guru Park menatap semua seisi kelas yang menjadi serius kembali.



"Guru Park, maaf kami mengganggu.'' Guru Jang muncul saat Guru Park tengah menjelaskan di depan kelas. "Aku akan membawa Kris ke kantor.''
"Oh, silahkan.''
"Kris.'' Guru Jang memanggil Kris.
Kris langsung berdiri, dia memberi hormat pada Guru Park sebelum pergi. Hanna penasaran dengan perginya Kris, tapi dia hanya mampu memandangi punggung pria itu.
Hanna masih melamun memikirkan kenapa Guru Jang membawa Kris, sampai kemudian dia terkejut dengan Kris yang berjalan dari ujung koridor. Hanna melihat tatapan mata Kris yang lembut, berbeda dari biasanya. Harusnya Hanna senang dengan tatapan itu tapi itu membuatnya mendapat firasat akan ada hal buruk yang terjadi. Kris tersenyum, dan itu membuat Hanna justru semakin merasakan sesuatu yang salah terjadi. Kenapa Kris begitu tiba-tiba berubah? Hanna meraskan kekhawatiran.
"Jaga dirimu,'' Kris berdiri di samping Hanna, menyentuh kepala Hanna, dan pergi masuk kekelasnya. Hanna merasakan dadanya sesak.
Hanna menatap ke dalam kelas lewat kaca jendela. Dia bisa melihat Kris memberi salam pada Guru Park, kemudian mengambil tasnya, berkata sesuatu kepada Lay dan kembali memberi salam untuk berpamitan pulang. Dia kelar kelas, kembali berpapasan dengan Hanna.
"Sampai jumpa,'' Kris tersenyum dan pergi.
Hanna masih belum tahu apa yang terjadi tapi perasaannya sudah berkata kalau ada sesuatu yang buruk. Dia ingin mengejar Kris tapi itu akan membuatnya mendapat hukuman baru. Dia memandang ke dalam kelas yang kembali melanjutkan pelajaran, tapi pandangannya menemukan wajah sedih dari Lay, Sehun dan Jongin.
Hal pertama yang di lakukan Hanna saat hukumannya selesai adalah berlari menghampiri Lay. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada Kris.
"Kenapa Kris pulang lebih awal?'' Hanna memegang tangan Lay.
"Ibunya dari Canada datang.'' Lay berkata.
"Mungkin untuk menjemputnya.''
"Menjemputnya?'' Hanna bingung.
"Kris akan kembali ke Canada.''
Hanna shock, tanpa terasa dia menjatuhkan tangan Lay dari genggaman tangannya. Hanna tahu ada hal seperti ini yang akan terjadi, kabar buruk.
"Karena itulah dia tidak ingin berpacran denganmu, dia tahu kalau suatu hari nanti akan pindah ke Canada lagi.'' Sehun berkta.
"Nanti malam kami akan bertemu di tempat biliar, kau bisa ikut.'' Kata Jongin.
"Dia tidak menginginkanku, untuk apa aku datang. Kalau dia akan pergi, pergi saja! Aku tidak peduli.''



Lain di bibir, lain pula di hati, walaupun Hanna mengatakan tidak peduli dengan kepergian Kris tapi malam ini Hanna menangis dikamarnya, dia di temani ketiga temannya. Nana, Rara dan Nayeon bermalam di rumah Hanna, mereka tahu kalau sahabatnya begitu kehilangan Kris.

Hari pertama tanpa Kris di dalam kelas.

"Apa arti kalimat ini, Kris.'' Hanna berbalik ke meja di belakangnya dengan menunjukan sebaris kalimat bahasa inggris di majalahnya. Semua menatap Hanna. Hannapun tersadar kalau sudah tidak ada Kris. "Maaf, itu kebiasaanku.'' Dengan lesu Hanna kembali berbalik.
Lay ingin mengatakan sesuatu tapi Sehun meraih bahunya, memberi tanda untuk diam. Lay akhirnya hanya bisa menghela nafas, merasa kasihan pada Hanna.

Hari kedua kepergian Kris...

"Aku tidak mau bermain biliar!" Hanna berkata dengan ketus saat Sehun mengajaknya pergi ke tempat Biliar bersama yang lain. "Aku tidak akan ke tempat di mana aku pernah pergi bersama Kris!"
"Tapi kau ke sekolah.'' Jongin mencoba bergurau.
"Diam kau!" Hanna berlalu pergi.
"Hanna tunggu.'' Nayeon berlari mengejar Hanna.
"Ya! Lee Hanna!" Nana juga ikut mengejar Hanna.
"Kau tidak ikut mengejarnya?'' Jongin mendorong Rara.
"Aish.'' Rarapun ikut mengejar Hanna.
"Apa sebaiknya kita memberitahunya.'' Lay berkata.
"Kris bilang jangan mengatakan apapun.'' Sehun berkata.
"Aku kira dia akan menangis sepanjang hari tapi lihatlah, dia bahkan sekarang menjadi lebih galak dari anjingku tiap kita menyinggung hal tentang Kris.'' Jongin berkata dengan tersenyum geli.

Hari ketiga tanpa Kris...

"Aku pergi dulu,'' Hanna melambaikan tangannya pada ke enam sahabatnya, dia berlari keluar kelas.
"Kenapa dia pulang terburu-buru?'' Lay bertanya kepada Nayeon.
"Dia bilang akan membeli anjing yang dilihatnya kemarin, dia bilang, anjing itu mirip Kris.'' Nayeon berkata.
"Apa kita perlu membawanya ke psikiater?'' Rara menatap teman-temannya.
"Kris perlu tahu jika dia disamakan dengan anjing.'' Jongin terkekeh.

Hari keempat tanpa Kris...

Hanna banyak diam di dalam kelas. Bahkan dia tidak berteriak saat Jongin menarik rambutnya yang terkucir rapi, padahal biasanya dia akan marah jika tatanan rambutnya diusik. Hanna juga tidak bersemangat saat Lay mentraktirnya Ice cream.
"Apa kau tidak enak badan?'' Sehun bertanya saat Hanna memakan Ice cramnya dengan lesu.
"Aku merindukan Kris,'' Hanna berkata dengan sedih, meskipun dia tidak menangis tapi semua temannya tidak lagi bersemangat memakan Ice Cream mereka.

Hari kelima tanpa Kris...

Hanna menolak ajakan Nana untuk pergi ke pantai karena hari minggu ini cerah, tapi Hanna justru mengajak pergi ke kedai ramen di dekat tempat Biliar Kris, tempat biasa mereka makan bersama.
"Apa kau hanya akan memesan tanpa memakannya?'' Rara bertanya saat melihat Hanna hanya memandangi ramen di mangkuknya. Dan Rara lebih terkejut saat Hanna meneteskan air mata.
"Ya! Lee Hanna, kenapa kau menangis.'' Nana panik begitu juga Rara dan Nayeon.
"Aku kira aku bisa melupakan Kris karena tidak melihatnya tapi aku malah semakin merindukannya.''
"Kita bisa menghubunginya.'' Rara yang tidak ingin melihat Hanna bertambah sedih menghubungi Jongin.
"Ada apa?'' Suara Jongin terdengar di telepon.
"Berikan padaku nomor Kris di Canada.''
"Untuk apa?''
"Berikan sekarang atau kau mati.''
"Aigho.''
"Berikan cepat!"
"Apa terjadi sesuatu pada Hanna?''
"Berikan saja nomor Kris, sekarang.''
"Baiklah, aku akan mengirimkan lewat pesan.''
Setelah Rara mengakhiri panggilannya, sebuah pesan masuk berbunyi dan nomor Kris tertulis di sana.
"Cha! Bicara padanya.'' Rara mengulurkan ponselnya pada Hanna. "Obati kerinduanmu.''
Hanna menatap Rara. Rara tersenyum dan mengangguk untuk meyakinkan Hanna. Perlahan Hanna menerima ponsel itu, dia memandangi nomor itu dan dengan ragu mendialnya.
"Hallo.'' Terdengar suara pria dari seberang telepon.
"Kris,'' Hanna menahan air matanya.
"Hanna? Kenapa kau menelepon. Apa kau tahu tarif luar negri begitu mahal.''
"Aku merindukanmu.''
"Aku tahu, jadi bersabarlah. Tutup teleponnya sekarang. Dan lihatlah pesan emalku untukmu.''
Hanna mematung saat panggilan itu terputus. Rara dan Nana saling pandang. Nayeon menepuk pipi Hanna agar tersadar dari lamunannya.
"Apa yang dia katakan?'' Rara bertanya.
"Katanya menelepon ke luar negri mahal.''
"Apa lagi?''
"Dia tahu aku merindukannya.''
"Lalu?''
"Dia menyuruhku bersabar.'' Hanna berdiri. "Dan menyuruhku membuka email!" Tanpa aba-aba Hanna berlari.
"Ya! Lee Hanna!" Rara terkejut dengan kepergian Hanna tiba-tiba. "Ponselku!" Secepatnya Rara mengejar.
"Aish!" Nana juga langsung mengejar kedua sahabatnya.
"Lalu, apa artinya aku yang membayar semua ramen ini? Aish...bahkan kalian tidak memakannya sama sekali.'' Nayeon menggerutu. Dia membayar semua ramen dan berlari menyusul sabatnya.



Hanna membuka email yang masuk.

From : Kris
To : Hanna
Subject : miss u!

Aku sedang terbang kembali padamu

Lalu Hanna menerima beberpa gambar juga. Foto-foto Kris bersama ibu dan adiknya. Ada foto beberapa asessories di sebuah kios.

"Apa itu artinya dia sedang terbang ke korea?'' Nana bertanya dari balik punggung Hanna, dia ikut melihat semua email dari Kris.
"Begitukah?'' Hanna berbinar.
"Apa berarti dia menerima cintamu? Karena dia mengirim emal padamu?'' Nana kembali bertanya. Hanna bertambah ceria.
"Kenapa dia mengirim email kalau dia bisa menelepon atau sms?'' Nayeon berkata.
"Mungkin agar terlihat lebih berkesan.'' Nana berkata.
"Kenapa dia tidak mengatakan pada kita kalau dia akan kembali.'' Rara berkata dengan kesal. "Bukankah dia sedang mempermainkanmu.''
"Benar.'' Nayeon mengangguk.
"Apa mungkin karena aku tidak datang di malam itu,''
"Ah, benar...'' Nayeon mengangguk lagi.
"Apa itu berarti ketiga pria brengsek itu tahu.'' Rara mengingat Jongin dan yang lain.
"Aish. Mereka!" Hanna meremas bantal yang di pegangnya.



"Kalian bohongkan kalau Kris akan pindah ke Canada! Dia sedang terbang kemari!" Hanna berdiri di antara meja Lay dan Sehun.
"Awalnya Kris mengatkan akan pindah, tapi malam itu dia mengatakan ibunya memberinya hak untuk tinggal atau ikut bersamanya jadi Kris memutuskan untuk ikut bersama ibunya tapi hanya untuk beberpa waktu, dan dia akan tinggal di sini bersama ayahnya.'' Lay menjelaskan.
"Kenapa kalian tidak mengatakan padaku.''
"Kris yang meminta.'' Sehun tersenyum.
"Aish!" Hanna menendang kaki Sehun yanh berada di luar meja. "Apa harus aku tanyakan pada ayahnya, kapan dia sampai.''
"Aighoo, lihatlah betapa semangatnya dirimu sekarang? Ayahnya tidak suka di ganggu. Jadi jangan datang hanya untuk bertanya hal bodoh.'' Jongin mencibir.

Hanna melihat pesan masuk ei e-mailnya lewat ponselnya, tapi tidak ada pesan dari Kris lagi. Ini sudah hari kedua setelah Kris mengirimkan e-mail waktu itu. Hanna mencoba menghubungi nomor Kris di Canada tapi tidak ada yang mengangkatnya.
"Apa Kris tidak menghubungi kalian?'' Hanna bertanya pada lay. "Dia tidak pernah mengangkat panggilanku.''
"Kapan kau menelepon?'' Lay bertanya.
"Semalam. Aku menelepon berkali-kali tapi dia tidak mengangkat.''
"Apa kau tahu perbedaan waktu Seoul dan Vancouver?''
"Memangnya berapa?''
"Sekitar 17 jam.''
"Hah?''
"Kalau kau menelepon jam 7 malam berarti di sana sekitar jam 1 pagi. Begitu.''
"Aku menelepon sekitar jam 8, berarti itu jam 2 pagi? Oh...aku tidak tahu.'' Hanna nyengir.
"Dia pasti pulang kemari, dia bilang hanya ingin mengunjungi keluarganya.''
"Padahal dia sudah mengatakan kalau dia sedang terbang kemari,'' Hanna mendengus kesal.
"Kenapa kau begitu menyukai Kris?''
"Itu datang begitu saja, dan aku merasa sekarang Kris mulai memikirkanku. Dia menulis 'muss u' di dalam pesannya.''
"Baguslah,'' Lay membelai kepala Hanna.
"Apa yang kalian lakukan?'' Nayeon bertanya, dia berjalan dari pintu masuk ke dalam kelas menghampiri dua sahabatnya.
"Kami hanya bicara tentang Kris.'' Hanna berkata.
"Tapi kalian hanya berduaan di kelas saat jam istirahat seperti ini menggangguku.'' Nayeon cemberut.
"Kau cemburu? Aish, apa kau menyukai Lay?''
"Heh?'' Wajah Nayeon berubah merah.
"Lihatlah, wajahmu merona. Jadi kau benar menyukai Lay.'' Hanna memandang Lay yang sedang tersenyum. "Apa kau juga menyukainya?''
"Kami sudah jadi sepasang kekasih.'' Lay menunjukan cincin di jarinya dengan tersenyum.
"Aih, kalian bicara apa?''
"Ini couple ring yang kami beli seminggu lalu di Hongdae.'' Lay berkata.
"Kalian tidak bercanda?'' Hanna memandang Lay dan Nayeon bergantian. Nayeon tersipu sedangkan Lay hanya tersenyum. "Aigho, bahkan aku tidak menyadari kalau kalian bisa saling menyukai.'' Senyum Hanna mengembang.
"Aku yakin Kris juga akan menerimamu.'' Lay berkata.
"Lalu, apa yang lain tahu kalian berkencan?''
"Nayeon ingin merahasiakannya.'' Lay memandang Nayeon.
"Kenapa?'' Hanna ikut memndang Nayeon.
"Kau terus bersedih karena Kris, aku tidak mungkin membuatmu bertambah sedih kalau tahu aku berkencan dengan Lay.''
"Aighoo. Apa kau berpikir aku akan iri padamu?'' Hanna berdiri, dia merangkul Nayeon.



Sepulang sekolah, Hanna dan ke enam temannya berada di kedai ramen langganan mereka untuk merayakan Lay yang berpacaran dengan Nayeon. Jongin menggunakan kesempatan ini untuk merayu Rara agar berpacaran dengannya tapi tetap saja Rara masih tidak menerima Jongin, karena dia sudah punya pacar. Rara memang mempunyai pacar dari sekolah lain, bahkan itu ada SMU bergengsi di Seoul. Menurut Jongin, pacar Rara pasti pria yang tidak punya ketulusan hati karena tidak pernah mau ikut berkumpul dengan mereka.
"Lalu, apa kau dan aku harus berkencan?'' Sehun bertanya kepada Nana yang ada di sampingnya.
"Aish!" Nana memukul kepala Sehun.
"Ya!" Sehun melotot.
"Jangan bicara omong kosong!"
"Tapi kita selalu bersama.'' Sehun mengatakan dengan santai. Nana hanya mencibir.
"Ya! Bodoh!" Suara seorang pria menghentikan langka Hanna. Dadanya bergemuruh, dengan cepat dia berbalik untuk memastikan pemilik suara itu adalah pria yang di tunggu olehnya. Tanpa terasa senyumnya mengembang begitu melihat pria itu benar-benar Kris. "Aku dengar kau punya seekor anjing yang mirip denganku.'' Kris melangkah dengan santainya, menghampiri Hanna yang berdiri mematung. Tangan Kris berada di kantong celananya, tidak ada ekspresi yang berubah meskipun mereka sudah berpisah begitu lama. Kris mengibaskan tangannya di depan wajah Hanna yang terus diam memandangnya. Hanna tetap saja diam tanpa melepaskan tatapannya dari Kris.
"Apa kau jadi bisu sekarang?'' Kris menyentuh hidung Hanna dengan telunjuknya, membuat Hanna tambah tersenyum semakin lebar.
"Aku merindukanmu!'' Hanna berteriak dan memeluk Kris tiba-tiba.
Kris terkejut dengan tangan Hanna yang melingkar di pingganya dengan erat. Kris tersenyum meskipun singkat. "Kau harus melepaskan aku,'' Kris melepaskan tangan Hanna.
"Tidak bolehkah aku memelukmu setelah berhari-hari kita tidak bertemu!" Hanna merajuk. "Apa kau tidak tahu kalau aku sudah hampir gila tiap melihat bangkumu kosong! Kenapa kau tidak mengatakan apapun dan hanya pergi! Apa kau tahu aku menjalani hari-hariku hanya dengan bersedih.''
"Benarkah?'' Kris tersenyum geli. "Kau menjalani harimu dengan terus bersedih tapi kau bermain di luar rumah sampai tengah malam seperti sekarang?''
"Aku pergi ke rumah Nayeon.''
"Cha!" Kris mengeluarkan sesuatu dari kantong jacketnya. Sepasang jepit rambut dengan hiasan mutiara putih, jepit rambut yang ada di gambar kiriman Kris tempo hari.
"Whoa...cantik.'' Hanna menepuk tangannya keras. Matanya berbinar.
"Aku banyak mengingatmu saat berkeliling bersama adikku di sana jadi aku membelikan sepasang untukmu.''
"Kau memikirkanku,'' Hanna meraih tangan Kris.
"Terimalah,'' Kris menghindari pertanyaan Hanna, dan juga menghindari untuk bertatapan dengan Hanna, entah kenapa dia jadi gugup.
"Apa hatimu mulai bertunas untukku?'' Hanna semakin mendekat untuk bertatapan dengan Kris.
"Apa kau tidak akan menerima pemberianku?'' Nada suara Kris berubah galak lagi.
"Eoh.'' Hanna menerima jepit rambut itu. "Tapi...kau belum menjawabku. Tentang hatimu, apa itu sudah bertunas?''
"Apa hatiku tanaman?''
"Kau lelaki aneh!" Hanna mencibir.
"Apa?''
"Pertama, kau mencimku tanpa menyukaiku, kedua, kau memikirkanku juga tanpa menyukaiku, jadi apa kau juga membelika Nayeon, Nana dan Rara jepit rambut?''
"Ehm.'' Kris mencoba menguasai kegugupannya.
"Kau cukup mengatakan, 'Hanna aku menyukaimu' Apa kau tidak bisa? Apa kau menganggap itu melukai harga dirimu.'' Hanna berkacak pinggang.
"Saranghae,'' Kris tiba-tiba berkata pelan.
"Apa?'' Hanna pura-pura tidak mendengar perkataan Kris, tapi dia tersenyum, wajahnya bersemu merah.
"Aku ingin sekali tidak jatuh cinta pada gadis bodoh sepertimu tapi kau terus menggangguku.''
"Aku bukan gadis bodoh,''
"Kau bodoh karena terus sibuk bersolek padahal kau cantik tanpa make up! Kau bodoh karena sibuk membaca majalah fashion daripada buku pelajaran! Kau juga bodoh karena menganggap matahari membuat kulitmu jelek.'' Kris menggunakan telunjuknya untuk mendorong dahi Hanna berkali-kali. "Dan kau gadis terbodoh yang terus mengikutiku.'' Di akhir kalimatnya Kris tersenyum.
"Itu bukan karena aku bodoh, tapi karena aku menyukaimu begitu besar. Besar sekali.'' Hanna membentangkan tangannya, senyumnya begitu penuh kebahagiaan.
Kris memegang pipi Hanna dan mencium bibir gadis itu. Hanna kaget tapi kemudian membalas ciuman itu tanpa peduli jika mereka berada di jalan depan rumahnya.



Seluruh kelas menyapa Kris di hari pertamanya kembali masuk. Mereka mengeluh karena Kris tidak membawa oleh-oleh untuk mereka. Hanna tersenyum saat Kris melewati mejanya. Kris masih dengan ekspresi lamanya yang tidak peduli dengan Hanna.
"Ya! Apa kau akan mengabaikanku lagi!" Hanna setengah berteriak saat Kris duduk di samping Lay.
"Kenapa?'' Kris bertanya dengan santai.
"Mereka harus tahu kalau kita berkencan mulai sekarang.''
"Mereka tahu.'' Kris menjawab dengan masih bersikap santai seperti biasa.
"Kami bertemu Kris sebelum menemuimu.'' Lay tersenyum.
"Dia bilang logikanya hilang karena jatuh cinta pada gadis bodoh sepertimu.'' Sehun tersenyum kepada Hanna kemudian beralih pada Kris.
"Jadi kalian berkencan semalam?'' Nana beranya. "Apa Kris membawamu ke retoran mahal untuk menyatakan cinta padamu?''
"Bukankah kau pulang dari rumahku sudah cukup malam, bagaimana bisa kau pergi ke retoran mahal?'' Nayeon ikut penasaran.
"Apa kalian gila? Restoran apa? Dia hanya menyatakan cintanya di depan rumahku.''
"Tapi tidak apa-apa, akhirnya arwah gentayangan kita bisa diam.'' Rara berkata.
"Arwah apa?'' Hanna cemberut.
"Bukankah kau terus bergentayangan mengelilingi Kris tanpa di lihat Kris, tapi sekarang bukankah Kris menerimamu.''
"Aish. Kalian berisik.'' Kris memandang para gadia itu dengan kesal.
"Whoa...tidak ada yang berubah padamu.'' Rara menggoda Kris.
"Sudahlah,'' Jongin menghentikan Rara bicara lebih jauh. "Dari pada mengurusi mereka, berikan jawaban padaku.''
"Jawaban apa?''
"Kapan kita berkencan?''
"Aish!" Rara memukul kepala Jongin dengan buku. "Urusi saja para noonamu.''
"Lalu bagaimana dengan kalian.'' Lay memandang Nana dan Sehun. "Bukankah kalian begitu akur.''
Nana dan Sehun saling pandang. Tiba-tiba Sehun meraih dagu Nana, dan dengan begitu cepat sebuah kecupan di berikan Sehun kepada Nana di bibirnya.
"Kami juga akan berkencan mulai sekarang. Iya kan Na-ya?'' Sehun berkata seperti tanpa rasa canggung sama sekali.
Nana terdiam, yang lain juga terdiam menunggu reaksi gadis itu. Nana menatap Sehun yang sedang menatapnya. "Baiklah, aku akan mencoba berkencan denganmu.''
"Ya! Ya! Bagaimana denganku? Ra-ya, kau harus menerimaku!" Jongin merengek.



Hujan turun, Hanna yang akan pulang bersama Kris memilih untuk duduk di dalam kelas, menunggu hujan reda. Kris sibuk bermain ponsel membuat Hanna merasa di abaikan. Diapun menendang kaki Kris.
"Kenapa?'' Kris menyerngit.
"Apa sekarang kau benar-benar menyukaiku?''
"Memangnya kenapa?''
"Ciuman kemarin bukan hanya karena hormon kan? Itu karena kau menyukaiku.''
"Anggap saja begitu.'' Kris kembali sibuk bermain dengan game diponselnya.
"Kenapa sikapmu tidak berubah meskipun kita tengah berkencan.'' Hanna cemberut.
"Kenapa?''
"Tidak, bukan apa-apa. Karena yang terpenting sekarang kita bersama. Sedingin apapun dirimu, aku bisa menerimanya.''
Kris tersenyum. "Bodoh.''

Friends series (Kris_Lee Hanna : LOve or Loveless)



Friend
LOve OR loveless





Main cast
Wu Yi Fan
Oh Sehun
Kim Jongin
Yixing
Lee Hanna
Kim Nana
Jang Rara
Han Nayeon


Di koridor lantai 3, SMU Seungri, tepatnya di depan kelas 2.6, delapan murid tengah asik berbincang. Mereka adalah : Kris, Sehun, Jongin, Lay, Hanna, Nana, Rara, dan Nayeon.

Wu Yi Fan, murid lelaki dari kelas 2.6 di SMU Seungri. Putra salah satu pemilik beberapa Club malam di Gangnam. Dia keturunan Cina tapi tinggal di Korea sudah cukup lama, sejak dia remaja. Penampilannya menarik hati banyak gadis di sekolahnya dengan tubunya yang tinggi dan wajah tampannya. Hanya saja dia tidak pernah menanggapi semua murid perempuan yang mengejarnya, bahkan sekalipun teman dekatnya, Hanna. Dia lebih di kenal dengan nama Kris.
Lee Hanna, gadis cantik dengan rambut panjang sepunggung berwarna coklat dan selalu menarik perhatian siswa lelaki di sekolahnya, tapi obsesinya pada Kris membuatnya mengabaikan pria manapun meskipun Kris tidak pernah menanggapinya. Hanna sangat suka berbelanja dan mentraktir teman-temannya, meskipun kadang sifatnya yang memaksa membuat teman-temannya jengah tapi selalu ada hal baik padanya yang membuat teman-temannya akan memaafkan gadis itu.
Oh Sehun, pria dengan ekspresi dingin setiap saat. Dia juga memiliki banyak fans girl di sekolah karena ke tampanannya. Dia jarang sekali memberikan senyumnya untuk orang lain tapi bagi teman-temannya itu bukan hal buruk dari Sehun karena mereka terbiasa.
Kim Nana, gadis yang ceria dan selalu berpikiran positif, dialan penyatu dalam geng kelasnya tiap ada pertengkaran. Dia mungkin tidak bisa ilmu bela diri seperti Rara tapi dia yang paling berani dalam menghadapi serangga di banding ke tujuh temannya.
Kim Jongin, seorang murid SMU yang lebih mengagumi gadis-gadis seniornya daripada teman sekelasnya. Orang bisa mengatakan dia anak remaja yang masih polos, tapi semua teman dalam gengnya tahu berapa banyak dia berkencan dengan perempuan yang lebih tua darinya. Dia selalu bisa mengeluarkan pesonanya untuk memikat para gadis, baik itu ketampanannya atau kepandaiannya dalam menyusun kalimat.
Jang Rara, dia mempunyai sabuk hitam dalam judo. Dia memiliki tubuh paling seksi diantara semua teman satu gengnya. Dan sudah ribuan kali Jongin merayunya. Tapi dia adalah murid terpayah di dalam kelas, nilainya tidak pernah lebih dari nilai rata-rata, tidak pernah sekalipun meskipun dia mendapat pertolongan dari si bintang kelas, Nayeon.
Yixing, dia paling dewasa dari semua temannya. Kebanyakan temannya memanggilnya Lay. Dia juga merupakan keturunan Cina. Dia ikut bersama orang tuanya yang di tugaskan untuk bekerja di korea.
Han Nayeon, bersifat kekanakan tapi cerdas. Dia merupakan gadis polos yang selalu ramah pada siapapun, termasuk orang yang meremehkannya. Dia juga tidak pernah menyadari tentang Lay yang begitu menyukainya.
kedelapan siswa itu mulai berteman satu sama lain sejak mereka memasuki kelas 1.6, setahun yang lalu. Walaupun pada hari pertama mereka di kelas menjadi orang asing yang tidak saling mengenal tapi mereka kemudian menjadi dekat satu sama lain.

Hari pertama di kelas 1.6

Di papan pengumuman utuk pembagian kelas seorang gadis terjatuh karena di tarik murid yang lain, gadis itu adalah Nyeon. Tanpa di duga ada Hanna yang langsung membantu Nayeon berdiri.
"Trimakasih,'' Nayeon tersenyum saat meraih tangan Hanna untuk bangun. Hanna membalas senyum Nayeon dan langsung beralih pada perempuan yang tadi menarik Nayeon.
"Kau harus minta maaf padanya.'' Hanna berkata dengan meraih bahu gadia itu.
"Apa urusannya denganmu! Hah!" Gadis itu mendorong bahu Hanna.
"Kau membuatnya jatuh! Kau harus minta maaf!"
"Salah dia tidak mau minggir!"
Pertengkaran itu menjadi tontonan siswa lain. Hanna masih bersikukuh agar gadis di depannya meminta maaf.
"Aku tidak apa-apa,'' Nayeon meraih tangan Hanna.
"Lihatlah, gadis bodoh itu tahu kalau tidak seharusnya kalian menggonggong! Atau aku akan menjadikan kalian musuhku di hari pertama kita, dan asal kau tahu, aku akan jadi penguasa di sini bersama teman-temanku!" Gadis itu tersenyum sinis, lalu dua temannya berdiri di sampingnya memandang Hanna dengan tidak kalah galaknya dari gadis itu.
"Ya! Kau!" Seorang gadis muncul dengan menyeringai. Kedatangan Rara menjadi pusat perhatian para siswa laki-laki yang tadi tidak peduli dengan keributan para gadis itu. "Kau mau jadi sok berkuasa di tahun pertamamu? Apa kau ingin melawanku? Kau bisa memilih, kita bertanding Judo? Atau tinju?''
"Apa kau juga teman para manusia bodoh ini? Jang Rara?''
"Ho...kau tidak lupa kan kalau aku pernah mematahkan tanganmu? Shin Shekyung?''
"Kau sudah tidak punya pasukan apapun di sini? Apa yang aku takutkan.''
"Apa aku boleh bergabung?'' Gadis manis dengan rambut tergulung ke atas menghampiri Hanna. "Aku tidak suka melihat ke angkuhanmu jadi biar aku memberimu sesuatu.'' Tanpa meminta persetujuan Shekyung, Nana menarik telapak tangan gadis itu dan meletakan seekor kecoa.
"Arghh!" Shekyung menjerit histeris. Dia bergidik setelah melempar kecoa itu dari tangannya.
"Kalau kau tidak menutup mulutmu sekarang juga, aku akan memberikan lebih banyak lagi itu padamu, di tumpukan kardus di sana banyak.'' Nana menunjuk kardus yang tertumpuk di sudut lorong.
"Issssh,'' Shekyung pergi dengan di ikuti kedua temannya.
"Kau hebat sekali,'' Hanna menunjukan ibu jarinya.
"Benar, kau bisa menanganinya lebih cepat dariku.'' Rara berkata.
"Trimakasih semuanya, maaf merepotkan kalian.'' Nayeon membungkuk.
"Kau harus memberikan pelajaran pada orang yang menindasmu.'' Hanna berkata.
"Benar,'' Nana berkata secara bersamaan dengan Rara.
"Sekali lagi terimakasih,'' Nayeon kembali membungkuk.
"Jangan sungkan, kenalkan namaku Nana. Kim Nana,'' Nana memulai perkenalan mereka,
"Aku Nayeon, Han Nayeon.''
"Hanna, aku Lee Hanna.''
"Kalian bisa memanggilku Rara, namaku Jang Rara.'' Rara tersenyum. ''Kalian masuk kelas mana?''
"1-6." Jawab Nana.
"Aku juga.'' Hanna berbinar senang.
"Aku juga di kelas 1-6," Mata Nayeon tidak kalah berbinar dari Hanna.
"Berarti kita semua satu kelas,'' Rara berkata.
"Whoaa...apa ini takdir.'' Nana tertawa.
"Kalau begitu apakah kita akan berteman?'' Hanna tersenyum.
"Kenapa tidak.'' Rara tertawa.
Di kelas 1.6, para siswa sedang mencari tempat duduk yang menurut mereka paling nyaman. Kris berjalan menuju sudut ruangan yang ada di sebelah jendela, dan duduk di sana. Seorang pria tiba-tiba menghampiri Kris, Lay.
"Bisa aku duduk di sebelahmu?'' Lay bertanya, Kris hanya mengangkat bahu untuk memberi tanda tidak keberatan.
Sehun memasuki kelas dengan tatapan dingin tanpa peduli dengan wajah-wajah yang akan jadi teman sekelasnya. Sehun duduk di meja belakang, tepat di samping meja Kris dan Lay.
Hanna bersama ketiga temannya memasuki kelas, di sana hanya ada dua meja tersisa. Hann memutuskan membawa Nayeon untuk duduk dengannya di samping jendela, Nana dan Rara tentu saja duduk di meja samping meja Hanna. Mereka duduk di baris meja kedua dari belakang. Mereka tidak pernah menduga jika mereka akan mendapat jalan takdir dengan pria yang duduk di belakang mereka.
Bel masuk berbunyi, seorang murid muncul di pintu dengan nafas terengah-engah karena berlarian sepanjang lorong. Dia memandang berkeliling untuk mencari bangku kosong sampai matanya menangkap bangku di samping Sehun, diapun melangkah dengan cepat. Dia adalah Jongin, Tapi langkahnya terhenti saat melewati Rara.
"Aku tidak menyangka menemukan bidadari di kelas ini,'' Jongin tersenyum pada Rara. Rara tetap cuek. "Maukah kau berkencan denganku?''
"Apa kau membenturkan kepalamu saat pergi kemari?'' Rara mencibir.
Jongin sudah akan melanjutkan kalimatnya, tapi kedatangan Guru Jang membuatnya segera duduk.
"Aku akan memilikinya,'' Jongin berbisik pada Sehun yang bahkan belum di kenalnya, Sehun tidak mengacuhkan pria itu sama sekali, sampai kemudian Jongin merangkulnya.
"Namaku Jongin, Kim Jongin. Siapa namamu?''
"Oh Sehun.'' Sehun menjawab tanpa memandang Jongin, dia lurus menatap wali kelasnya di depan.



Sehun baru pulang dari kerja paruh waktunya, tanpa di duga dia bertemu beberpa preman yang meminta uang padanya sehingga terlibat perkelahian. Sebenarnya Sehun menguasai Takewondo dengan baik hanya saja lawan tidak seimbang, dia harus melawan empat orang. Sehun sudah babak belur, tapi dia belum mau menyerah.
"Apa kalian tidak tahu malu? Empat lawan satu? Cih!" Suara pria terdengar dari belakang Sehun. Kris.
Sehun hanya menyerngit memandang pria jangkung yang menghampirinya, dia sama sekali tidak merasa mengenal pria itu.
"Ya! Bocah, jangan ikut campur!" Teriak salah seorang preman.
"Dia temanku, bagaimana mungkin aku tidak ikut campur.'' Perkataan Kris mengejutkan Sehun, tapi Sehun tidak mengatakan apapun, dia memang membutuhkan bantuan tidak peduli siapapun itu.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kau merasakan hal yang sama dengan sahabatmu.'' Si preman menyeringai.
Perkelahian jadi imbang dengan kedtangan Kris. Dan Akhirnya justru para preman itu lari meninggalkan Kris dan Sehun karena tidak bisa mengalahkan keduanya.
"Trimakasih atas bantuanmu. Jadi bagaimana kau mengenalku?'' Sehun bertanya setelah mengatur nafasnya.
"Seragammu adalah seragam sekolahku, dan sepertinya aku pernah melihatmu di kelas.''
"Kelas? Kelas 1-6?"
"Benar, jadi kau benar-benar teman sekelasku.'' Kris menepuk pundak Sehun.
"Namaku Oh Sehun.''
"Kau bisa memanggilku Kris,'' Sekali lagi Kris menepuk pundak Sehun.
"Sampai besok bertemu di sekolah.'' Sehun berlalu pergi.



Lay ikut mengunjungi salah satu teman baik ayahnya yang di rawat di rumah sakit. Dia terkejut melihat Jongin yang berada di kamar rawat itu. Walaupun Lay tidak tahu nama Jongin tapi dia yakin pria itu teman sekelasnya.
"Kau mengenalku kan?'' Lay menghampiri Jongin.
"Sepertinya kau teman sekelasku.'' Jongin tersenyum.
"Namaku Lay,''
"Aku Jongin, tidak menyangka kalau anak teman ayahku adalah teman sekelasku.'' Jongin menggaruk lehernya.
"Benar,'' Lay terkekeh.

Saling melengkapi, saling menyukai, dan kemudian berteman...


Sekali lagi Nayeon bertemu dengan Shekyung di toilet yang langsung mengenalinya sebagai gadis pembuat masalah di depan papan pengumuman tempo hari dengannya. Nayeon hanya bisa pasrah dengan apa yang akan dilakukan Shekyung padanya, tapi seseorang datang menghampirinya.
"Lay...'' Shekyung terpekik.
"Jangan mengganggunya lagi, dia teman sekelasku.'' Lay berkata.
"Hoh! Oppa! Kau tidak tahu apa-apa,''
"Aku melihatnya, saat kau menjatuhkannya kemarin,'' Lay mendorong kepala Shekyung dengan telunjuknya. "Aku ingin memukulmu saat itu, tapi sudah ada yang memberimu pelajaran, kau keterlaluan.''
"Oppa!"
"Kalau kau terus membully temanmu maka aku akan mengatakan pada immo kalau kau jadi biang onar di sekolah.''
"Oppa! Kenapa kau membelanya? Apa kau menyukainya? Harusnya kau membelaku! Kau sepupuku!"
"Ya! Shin Shekyung, jangan bicara omong kosong!"
"Aish!" Shekyung pergi dengan kesal.
"Terimakasih,'' Nayeon dengan malu-malu berkata.
"Oh, kau tidak apa-apa.'' Lay beralih menatap gadis di belakangnya.
"Eoh.'' Nayeon mengangguk dengan tersipu.
"Sepupuku memang sedikit kasar, maafkan dia.''
"Iya, tidak apa-apa.''
"Namaku Yixing tapi kau bisa memanggilku Lay,'' Lay mengulurkan tangannya.
"Han Nayeon.'' Nayeon menyambut uluran tangan Lay lalu dengan gugup menariknya lagi setelah berjabat tangan singkat.
"Aku duduk di belakangmu, apa kau tidak tahu?''
"Benarkah?'' Nayeon memberanikan diri menatap Lay.
"Tidak masalah kalau kau tidak menyadarinya, tapi kau sudah tahu sekarang.''
"Iya...'' Nayeon tersipu.
Lay tersenyum dengan tingkah Nayeon yang terus saja tersipu di depannya. Dia menyadari satu hal, senyuman Nayeon begitu indah.
Di dalam kelas 1.6, tepatnya di bangku belakang ada dua orang siswa sedang mendekati siswa lain untuk di ajaknya berkencan. Di satu sisi ada Jongin yang merayu Rara, di sebelah meja mereka ada Hanna merayu Kris. Dan diantara kedua sepasang remaja itu ada Nana dan Sehun yang memandang acuh tak acuh pada keduanya.
"Apa makanan kesukaanmu?'' Hanna bertanya pada Kris yang sedang membaca majalah otomotif. "Warna kesukaanmu apa? Kemana biasanya kau jalan-jalan.'' gadis ini terus bertanya meskipun Kris diam saja.
Sedangkan Jongin juga terus merayu Rara untuk mau pergi dengannya. "Kau bisa memilih untuk aku jemput dengan motor atau mobil.'' Tapi semua penawaran Jongin tidak membuat Rara menerima ajakan Jongin.
"Kenapa temanmu tidak punya malu sama sekali?'' Sehun berkata pada Nana dengan menatap Hanna yang terus mencoba menempel Kris.
"Bahkan aku heran pada temanmu yang membicarakan kencan di hotel padahal usianya masih 16 tahun.'' Nana geleng-geleng kepala menatap Jongin meskipun dia sedang bicara dengan Sehun.
Tapi, meskipun percintaan Hanna dan Jongin tidak ada perkembangan selama satu tahun mereka bersama dalam satu kelas tapi persahabatan ke delapan anak ini menjadi begitu dekat. Begitulah jika kita hidup berdekatan dalam waktu yang lama, maka kita akan mengenal satu sama lain dengan baik, entah itu tentang hal yang baik atupun hal yang buruk, tapi mereka masih bersama sampai sekarang berada di kelas 2. Kedelapan anak ini juga tetap mengambil posisi duduk yang sama di kelas baru mereka sekarang.
"Ini sudah setahun dari pertama aku mengatakan 'aku mencintaimu' Apa kau tidak akan menerimaku?'' Hanna mendekati Kris yang sibuk menyalin tugas matematika dari buku Hanna. "Kau selalu mengabaikanku.'' Hanna memukul kepala Kris dan pergi.
"Aish.'' Kris memegang kepalanya yang tadi di pukul Hanna.
"Apa kau benar-benar tidak akan menerimanya?'' Sehun tersenyum sinis.
"Kenapa? Kau menyukainya, ambil saja.'' Kris berkata, dia menatap pria yang duduk di meja sebelah mejanya.
"Dia punya ketulusan tapi bukan tipeku.'' Sehun mencibir. "Aku tidak suka gadis yang takut kulitnya terbakar matahari.''
"Kau bisa berkencan dengan Nana kalau begitu, bukankah di sangat menyukai lapangan daripada di kelas.'' Kris berkata, dia kembali sibuk pada tugasnya.
"Begitukah?'' Sehun tersenyum sinis. "Tapi bagaimanapun juga, Hanna sudah begitu baik jadi jangan terlalu kasar padanya.''
"Hey...kenapa kau berkata seperti itu? Apa kau memang menyukainya.''
"Entahlah? Tapi aku kasihan padanya.'' Sehun mengangkat bahu, lalu berdiri. "Aku akan ke kantin menyusul yang lain, apa kau tidak ingin makan.''
"Pergilah.''
"Baiklah, aku pergi.'' Sehun beranjak dari tempatnya.
Kris menatap punggung Sehun dan bergumam, "Apa dia menyukai Hanna?'' Perasaan Kris jadi gelisah tapi kemudian dia menghela nafas dan kembali melanjutkan tugasnya.
Hanna mendekati Rara, Nana dan Nayeon yang sedang makan di kantin. Dia mengambil makanan Nana dan memakannya dengan kesal.
"Kau kenapa?'' Nana bertanya.
"Apa aku kurang cantuk?''
"Hah?'' Ketiga teman Hanna bingung arah pertanyaan gadis itu.
"Aku cantikkan? Bahkan banyak murid laki-laki mengirimkan coklat padaku, benarkan?'' Hanna bertanya dan di jawab anggukan oleh ketiga temannya. "Lalu kenapa Kris terus menolakku?''
"Apa mungkin dia gay?'' Rara berpendapat yang langsung membuat ketiga temannya melotot.
"Iiih...apa mungkin?'' Hanna bergidik.
"Kalian jangan bicara sembarangan.'' Nana berkata, dan di sebelahnya Nayeon mengangguk.
"Tapi dia selalu bersama Sehun tiap jam istirahat,'' Rara berkata.
"Lay juga bersama Jongin.'' Nana menjawab.
"Tapi Lay dan Jongin kadang makan bersama kita, seperti tadi, lalu bagaimna dengan Kris dan Sehun...jarang sekali mereka makan bersama kita.'' Rara berkata.
"Mana mungkin, itu tidak mungkin.'' Hanna menjadi sedih. "Kris-ku tidak boleh seperti itu.''
"Bagaimana kalau kita uji coba saja.'' Rara memberi saran.
"Bagaimana caranya?'' Hanna menyerngitkan dahinya.
"Coba terus menyentuhnya, apa dia akan tergoda.''
"Aku terus mengelilinginya, dia tidak peduli.''
"Kau harus menyentuh pada titik-titik sensitifnya, atau menyentuhnya penuh godaan.''
"Apa?'' Ketiga di samping Rara menatap dengan bingung.
"Begini,'' Rara menggunakan telunjuknya untuk menelusuri pergelangan tangan Hanna dengan lembut. "Atau begini,'' Telunjuk Rara menyapu leher Hanna sampa ketengkuknya.
"Aish.'' Nana menggigit bibirnya melihat temannya sedang memperagakan adegan romantis dalam beberapa drama yang di tontonnya. "Apa kau coba merangsangnya?''
"Heh?'' Hanna menatap Rara. "Nana benar, apa kau menyuruhku untuk membuatnya terangsang padaku?''
"Kalau dia terangsang berarti normal, kalau tidak berarti...kau harus menyerah, mungkin saja dia gay.''
"Oh...'' Hanna cemberut.



Hanna meminta Lay untuk bertukar tempat duduk dengannya saat pelajaran bahas inggris dengan alasan Kris bisa mengajarinya dengan baik. Kris sebenarnya ingin menolak tapi Lay justru tidak keberatan. Nana dan Nana hanya mengedipkan mata untuk menyemangati temannya saat Hanna menatap keduanya, sedangkan Nayeon justru cemas kalau Hanna akan mendapat masalah dari Guru Park jika bermain-main dalam pelajaran Bahasa Ingris.
"Wah...kulitmu lebih bagus dari kulitku.'' Hanna mulai menyentuh tangan Kris dengan telunjuknya dari pergelangan tangan sampai ke siku pria itu, dia tersenyum menikmati sentuhannya tapi senyumnya hilang saat melihat tatapan tajam Kris padanya. Hannapun menarik tangannya. Hanna memandang ke arah Rara yang memandangnya memberi semangat. Hanna menarik nafas panjang, dan sesaat kemudian telunjuknya sudah menyentuh leher Kris membuat pria itu menoleh dengan wajah dinginnya.
"Ada noda di sana,'' Hanna pura-pura mengelap leher Kris. "Bagaimana bisa ada noda tinta di sana?'' Tangan Hanna masih terus mengusap leher Kris yang sebenarnya tidak ada apapun.
"Hentikan!'' Kris meraih tangan Hanna. Dia berteriak dengan keras sampai seluruh isi kelas menatap ke arah mereka, untung Guru Park sedang keluar. "Kembali ke mejamu kalau kau hanya akan menggangguku!"
"Kris...'' Lay menatap sahabatnya.
"Baiklah aku akan kembali ke mejaku.'' Hanna berdiri, dia menghampiri Lay yang langsung berdiri dan kembali ke kursinya.
"Kau baik-baik saja,'' Nayeon berbisik lirih pada Hanna.
"Bagaimana aku baik-baik saja, seluruh kelas menatapku.''
"Tenanglah,'' Nayeon menggenggam tangan Hanna.
Di sebelah meja Hanna, Nana dan Rara merasa bersalah pada sahabatnya. Mereka menatap Kris dengan kesal.
"Hey, mata kalian akan keluar.'' Jongin memukul kepala Rara dan Nana yang menatap Kris penuh kemarahan.
"Aish!" Rara beralih menatap Jongin dengan kesal. "Kau membela temanmu.''
"Bukankah, Kris juga temanmu.'' Jongin berkata.
"Tapi Hanna temanku juga,''
"Hanna terus menggoda Kris, siapa yang tidak akan terganggu.'' Sehun tiba-tiba berkata. "Aku bersimpati padanya tapi kali ini dia yang bersalah.''
"Kenapa?'' Nana memandang galak ke arah Sehun.
"Aku bertanya-tanya siapa yang mengajari hal bodoh itu untuk di lakukan di sekolah?'' Sehun tersenyum sinis kepada Rara.
"Apa?'' Rara berdiri berkacak pinggang. "Kenapa kau menatapku seperti itu?''
"Aish.'' Jongin menarik Rara untuk duduk kembali.
"Kenapa kalian ribut.'' Lay berkata.



Hanna masih tidak mau memikirkan kalau Kris Gay meskipun godaannya tidak berpengaruh sama sekali. Dia bahkan menyusun rencana untuk menggoda Kris lebih lagi. Dan kesempatan itu dia lakukan saat lapangan basket, saat guru olah raga menyuruhnya membereskan bola bersama Kris usai praktek selesai. Dia sengaja mengambil bola yang di pegang Kris dari belakang pria itu sehingga mereka seperti sedang berpelukan. Kris tertegun untuk beberapa saat tapi kemudian melepaskan Hanna dengan kasar.
"Aish, apa sebenarnya yang sedang kau pikirkan?'' Kris marah tapi tidak berteriak seperti kemarin, dia masih ingat teman-temannya yang memandang mereka, dan lebih lagi dia tidak ingin mempermalukan Hanna untuk kedua kali.
"Mencari tahu sesuatu.''
"Apa?''
"Kau lelaki normal, atau tidak.''
"Apa?''
"Aku ingin tahu apa kau tergoda?''
"Cih!" Kris tertawa sinis. "Lalu apa kau tahu jawabannya?''
"Kau sama sekali tidak tergoda, apa kau gay?''
"Apa?''
"Aku menyentuhmu di sini,'' Hanna menyentuh lengan Kris dengan telunjuknya secara pelan seperti kemarin. "Dan wajahmu tidak ada perubahan.'' Hanna menatap Kris yang tengah mentapnya.
"Lalu aku juga sudah menyentuh lehermu,'' Tangan Hanna menyentuh leher Kris. "Dan kau masih tidak menunjukan perubahan apapun.'' Hanna menatap Kris meskipun tangannya masih di tengkuk pria itu.
"Bahkan aku memelukmu, dan kau masih menatapku dengan kemarahan yang sama tiap kali aku mendekatimu. Apa kau gay.'' Tangan kiri Hanna yang bebas menyentuh dada Kris sampai kemudian dia bisa merasakan degupan jantung Kris yang begitu cepat. Hanna mwngerjapkan matanya, menatap dada Kris yang naik turun begitu cepat. Hanna kembali menatap mata Kris, meskipun mata itu masih memancarkan sinar yang sama tapi Hanna tahu Kris tergoda olehnya. Sebelum Hanna menarik tangannya dari Kris, pria itu sudah menangkup wajahnya.
"Kau yang menginginkannya.'' Kris berkata dengan parau sebelum akhirnya mengecup bibir Hanna. Hanna tidak tahu harus bagaimana saat Kria mengecup bibirnya, sekali dua kali, tiga kali sampai kemudian ciuman itu menjadi dalam dan lama. Bahkan Hanna bisa merasakan nafas hangat Kris yang menerpa kulitnya. Hanna merasakan ciuman Kris seperti semakin ingin membinasakannya dengan buasnya. Kris semakin mendorong Hanna sampai kemudian mereka terpojok pada pintu aula basket.
"Kris!" Hanna mendorong Kris untuk lepas dari tubuhnya saat dia merasakan tangan Kris mulai meraba dadanya.
"Kenapa? Bukankah kau menginginkan ini?'' Kria menyeringai.
Tiba-tiba seseorang mendorong pintu. Hanna dan Kris saling pandang sebelum akhirnya sama-sama menjauh. Mereka kembali memungut sisa bola di lantai. Guru Yoo muncul dari balik pintu.
"Aku membutuhkan Kris, jadi Hanna bisakah kau memereskan ini sendiri.'' Guru Yoo berkata.
"Baik,'' Hanna membungkuk.
"Kenapa dengan wajah kalian, kenapa memerah? Apa di sini terlalu panas.''
Hanna hanya menunduk, dia tidak berani menatap Guru Yoo apalagi Kris.


Ciuman tanpa cinta...

Setelah ciuman di aula basket, Hanna tidak melihat ada yang berubah dari Kris. Pria itu masih menatapnya dengan sama, padahal Hanna merasakan dadanya berdetak kencang kalau mengingat kejadian beberapa jam lalu. Hanna belum bisa menceritakan tentang ciumannya pada teman-temannya, seperti ada sesuatu yang membuatnya tidak berani untuk bercerita, dia malu.
Hanna berdiri di depan Kris saat pria itu berdiri dari kursinya untuk menyusul teman-temannya yang sudah keluar kelas. Kris menyerngit menatap Hanna yang berwajah marah di depannya. Suasana kelas sudah sepi karena semua siswa sudah keluar begitu bel pulang berbunyi.
"Kenapa?'' Kris tersenyum mengejek. "Apa kau menginginkan kita melanjutkan ciuman tadi.''
"Katakan, kau menyukaiku kan? Kenapa kau tidak mengatakan itu meskipun kau menciumku.''
"Apa aku harus menyukaimu baru bisa menciummu?''
"Hah?''
"Aku melakukannya karena hormon. Apa kau tahu? Itu emosi yang muncul saat kau menyentuhku, karena kau wanita, jadi aku melakukannya.''
"Aish!" Hanna cemberut. "Jadi kau menciumku hanya karena hormon?''
"Apa kau ingin menggodaku lagi?'' Kris mendekati Hanna, gadis itu dengn reflek mundur dan tangannya tersilang di depan dadanya karena mengingat kejadian beberapa jam yang lalu saat Kris menyentuh dadanya.
"Hmm,'' Kris masih menunjukan senyuman mengejeknya pada reaksi Hanna di depannya. "Kau mengingatnya? Jadi jangan menggodaku atau aku bisa melakukan lebih dari itu, meskipun aku tidak menyukaimu.'' dia melewati Hanna yang mematung , dia berjalan tanpa menoleh sedetikpun pada Hanna yang begitu kesal dengan perkataan Kris. Hanna berbalik tapi pria itu sudah tidak ada di kelas.
"Kenapa aku menyukai si brengsek itu!" Hanna mencengkeram erat roknya karena kesal.
"Ya! Apa kau tidak akan ikut?'' Tiba-tiba muncul Nana di pintu.
"Eoh.'' Hanna menghela nafas dan menghampiri temannya, mereka akan bermain bilyard bersama. Hanna dan Nana memang pandai bermain Bilyard, Sehun dan Jongin menyukai permainan dua gadis itu. Sehun selalu satu tim dengan Nana, dan Hanna akan bersama Jongin. Mereka bermain Bilyard di tempat milik ayah Kris, jadi mereka bisa melakukannya dengan leluasa.
"Kau terlihat terus cemberut,'' Jongin merangkul Hanna saat naik ke lantai dua, menuju tempat mereka bermain.
"Dia terus seperti itu sejak dari sekolah.'' Nana yang ada di depan keduanya mengomentari.
"Apa terjadi sesuatu?''
"Jongin ahh, apa kau pernah berciuman dengan orang yang tidak kau suka?''
"Kenapa?''
"Ada pria yang menciumku hanya karena hormon.''
"Benarkah,'' Jongin terkekeh. "Jadi kau berkencan dengan pria tapi dia tidak menyukaimu, hanya berkencan?''
"Bahkan kami tidak berkencan.''
"Oh, berarti dia hanya tergoda. Begitu.''
"Jadi lelaki seperti itu? Apa kau juga pernah melakukannya? Bagaimana? Apa kau jatuh cinta setelahnya?''
"Hmm, aku rasa aku pernah tapi tidak jatuh cinta. Saat itu kakak kelasku mengatakan menyukaiku, karena dia cantik meskipun aku belum mengenalnya, kami berciuman.''
"Apa semua laki-laki seperti kalian.'' Hanna memukul kepala Jongin.
"Aku bisa berciuman denganmu, dan kita lihat apakah aku akan berpindah jatuh cinta padamu, lalu melupakan Rara.''
"Apa kau mau mati!" Hanna mencekikik Jongin, tentu saja Jongin langsung berlari menyelamatkan diri.
Di lantai dua sudah ada Kris dan Lay bersama Sehun. Rara dan Nayeon tidak ikut karena ada urusan. Tidak banyak perempuan di ruang bilyard itu untuk memainkan stick beradu dengan bola-bola di atas meja, kebanyakan permpuan di sana hanya menemani para pria bermain. Lain halnya dengan Hanna dan Nana yang menguasai dengan baik permainan itu, tapi untuk saat ini Hanna bermain dengan payah membuat Jongin beberapa kali berteriak kesal. Pada akhirnya tim Nana-Sehun menang dari Hanna-Jongin.
"Baiklah, aku yang mentraktir kalian, karena kekalahan ini salahku.'' Kata Hanna.
"Aish.'' Jongin merangkul Hanna. "Aku yang akan mentraktir, karena wanitaku ini sedang dalam mood yang jelek.'' Jongin berkata.
"Wanitaku?'' Semua terkejut dengan perkataan Jongin.
"Apa tidak boleh menyebutnya begitu?'' Jongin cemberut.
"Aku akan mengatakan ini pada Rara,'' Hanna memukul kepala Jongin.
"Gadis itu terus mencampakanku.'' Jongin berkata.
"Kau juga terus berkencan dengan para oeni.''
"Lalu apa aku harus menjadi pendeta untuk menunggu Rara?''
"Setidaknya tunjukan ke tulusanmu!"
"Seperti kau mengejar Kris, tanpa memperdulikan pria lain, ah salah...kau juga sudah mulai punya pria lain.'' Jongin berkata, lalu dia berbisik ke telinga Hanna dengan sangat lirih agar yang lain tidak mendngar. "Pria dengan hormon itu.''
Semua menatap Hanna, termasuk Kris. Hanna dengan tergagap berkata, " Ke-kenapa kalian menatapku seperti itu?''
"Kau dekat dengan seorang pria tanpa aku ketahui?'' Nana memandang Hanna penuh selidik.
"Ah, sudahlah ayo kita makan ramen, aku lapar.'' Hanna bergegas keluar.
"Aish, gadis ini.'' Nana mengejar Hanna.
"Bagaimana Kris? Kau akan membiarkannya di ambil pria brengsek itu?'' Jongin bertanya.
"Memangnya kau mengenal pria itu?'' Sehun balik bertanya.
"Aku bisa melihat kalau pria itu adalah orang cabul.'' Jongin berkata. "Ini adalah instingku.''
"Apa kau akan membiarkannya?'' Jongin bertanya.
"Dia bukan pacarku.'' Kata Kris. "Pergilah, aku tidak bisa ikut makan ramen bersama kalian.''
Selepas kepergian ketiga temannya, Kris memikirkan siapa pria yang di maksud Jongin karena setahunya tidak ada pria yang di terima Hanna dari banyaknya surat cinta yang datang pada gadis itu dalam berbagai kado. Sebutan pria cabul dari Jongin membuatnya khawatir kalau Hanna mendapat masalah.



Hanna menatap kesal wajah Kris di layar ponselnya. Bagaimana bisa ciuman itu terjadi hanya karena hormon. Hanna terus mengutuki Kris yang membuat ciuman pertamanya tanpa cinta. Tapi Hanna tersenyum kalau mengingat ciuman itu lagi, setidaknya ciuman pertamanya adalah dengan pria yang di cintainya.
"Jadi kalau aku menggodamu, kau akan menciumku?'' Hanna tersenyum memikirkan sebuah ide. "Berarti aku bisa mendapatkan ciuman itu kapanpun aku inginkan asal aku menyentuhmu?'' Dengan terus tersenyum Hanna memeluk bonekanya.
"Tapi tunggu,'' Hanna yang tadinya terbaring di tempat tidurnya jadi terduduk dengan ide baru di kepalanya. "Aku juga mengatakan aku menciumnya karena hormon.'' Hanna tertawa dan kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.



Hanna memasuki kelasnya dengan ceria sampai Nayeon heran dengan tingkah Hanna, begitu juga Nana dan Rara.
"Lay, dimana Kris?'' Hanna bertanya saat Lay melewatinya bersama Jongin.
"Sepertinya bersama Sehun di belakang.'' Jawab Lay.
"Kenapa kau mencari Kris sepagi ini?'' Jongin menyipitkan mata memandang Hanna. "Dan kenapa dengan wajahmu yang begitu bersemangat.''
Tiba-tiba orang yang di cari muncul. Kris heran karena keenam temannya menatapnya, lebih heran lagi melihat tatapan Hanna yang sekarang menghampirinya.
"Selamat pagi,'' Hanna berkata, lalu dengan tiba-tiba mengecup pipi Kris.
"Ommo!" Nayeon tidak percaya dengan apa yang di lihatnya begitupun Nana dan Rara. Sedangkan Lay justru terkekeh melihat ekspresi kaget Kris, dan Jongin tersenyum.
"Itu karena hormon,'' Hanna mengedipkan sebelah matanya, dia kembali duduk ke kursinya.
"Apa yang di lakukannya padamu?'' Sehun yang ada di belakang Kris, menepuk punggung Kris pelan. Kris tidak menjawab, dia hanya mendengus dan berjalan ke kursinya.
Kegilaan Hanna tidak berhenti sampai di situ, Hanna kembali mengecup pipi Kris saat akan pergi ke kantin di waktu jam istirahat.
"Kau ikut aku!" Kris menarik Hanna yang sedang makan di kantin.
"Kemana?'' Hanna tidak bisa menolak saat tangan Kris begitu kuat menariknya.
"Apa yang akan di lakukan Kris? Haruskah kita mengikuti mereka?'' Nayeon berkata dengan cemas.
"Biarkan saja.'' Rara berkata. "Mereka harus menyelesaikan masalah mereka.''
"Benar, mereka harus berpacaran atau Hanna berhenti menyukai Kris. Ini sudah satu tahun tapi Kris tidak memberi kejelasan, tidak menerima juga tidak menolak Hanna.''
"Bukankah Kris sudah menolak Hanna.'' Jongin berkata.
"Tapi Kris terus menerima kebaikan Hanna.'' Rara berkata.
"Memangnya kenapa?''
"Sudahlah, biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka dan kalian jangan menimbulkan masalah baru.'' Sehun berkata.
Kris menghentikan langkahnya di belakang sekolah. Hanna cemberut karena di tarik dengan kasar oleh Kris. Hanna ingin memarahi Kris tapi nyalinya jadi ciut saat Kris berbalik menatapnya dengan wajah penuh kemarahan.
"Kenapa kau melakukan ini?! Bukankah aku sudah memberitahumu untuk tidak menyentuhku!''
"Itu karena...''
"Apa kau masih berpikir kalau aku menciummu karena aku menyukaimu? Apa aku perlu mengatakan lebih keras kalau aku menciummu hanya karena sentuhanmu?''
"Aku tidak peduli, karena aku menyukainya.'' Hanna tersenyum. "Jadi...kau bisa menciumku kalau aku menyentuhmu.'' Tangan Hanna terulur menyentuh pipi Kris. Dengan cepat Kris menepis tangan Hanna.
"Kau memang tidak bisa di diamkan.'' Kris mendorong tubuh Hanna kesamping saat akan pergi meninggalkan gadis itu, dan tanpa di duga Hanna terjatuh.
"Akh!" Hanna terpekik, dan Kris menoleh. Kris terkejut saat menyadari tangan Hanna berdarah. Hanna menangis.
"Aku akan membawamu ke klinik. Naiklah ke punggungku.'' Kris jongkok di depan Hanna. Hanna justru semakin terisak sehingga Kris berbalik menatapnya. "Kenapa kau tidak naik? Aku akan menggendongmu? Lukamu perlu di obati.''
"Tanganku yang terluka bukan kakiku! Kau tidak perlu baik padaku!" Air mata Hanna bertambah deras.
"Aku akan berlari menggendongmu jadi akan lebih cepat sampai ke klinik!"
"Pergi!" Hanna mendorong Kris untuk pergi. "Kalau kau memang tidak menyukaiku jangan berbuat apapun untukku! Pergi! Aku tidak butuh bantuanmu."
Hanna mencoba bangun sendiri dan ternyata duri mawar yang mengenai tangan Hanna juga mengenai kaki kanan Hanna. Kris yang menyadari itu langsung menarik Hanna ke punggungnya.
"Kau boleh marah tapi nanti setelah kau sampai di klinik sekolah.'' Kris berkata. Hanna menurut dan masih menangis.
Luka di kaki Hanna tidak parah hanya perlu di berianti septik dan perban, tapi luka di tangan Hanna tidak bisa di obati di klinik sekolah karena luka itu perlu mendapat jahitan. Hanna di bawa ke rumah sakit terdekat. Guru Jang menemani Hanna ke rumah sakit, Kris juga ikut. Guru Jang heran bagaimana bisa Hanna bisa tersayat duri mawar sampai sedalam itu, Hanna hanya menjelaskan kalau dia terpeleset dan tidak tahu jika dia menimpa tanaman mawar. Kris benar-benar merasa bersalah melihat bekas air mata Hanna di pipi gadis itu.
"Biarkan aku saja yang mengantarnya, bukankah Anda harus kembali mengajar.'' Kris berkata saat Guru Jang akan mengantar Hanna pulang.
"Apa karena kau ingin membolos?'' Guru Jang menggoda Kris.
"Kami berteman, jadi aku tahu rumahnya.''
"Baiklah, aku serahkan dia kepadamu.'' Guru Jang menepuk punggung Kris lalu membelai pipi Hanna. "Cepat sembuh ya.''
Hanna membungkuk saat Guru Jang pergi begitupun Kris.
"Aku bisa pulang sendiri.'' Hanna berkata saat Guru Jang sudah menghilang.
"Aku tahu tangan dan kakimu bwgitu sakit, kau terus menangis karenanya---''
"Bukan,'' Hanna memotong perkataan Kris. "Yang membuatku menangis adalah kau! Tidak peduli betapa menyakitkan luka di tangan ini tapi di campakan olehmu seperti itu lebih menyakitkan!"
"Aku akan menyetop taxi.'' Kris melambai pada Taxi yang lewat. "Ayo.'' Kris mencoba memapah Hanna menuju taxi yang berhenti di depan mereka.
"Lepaskan! Aku bilang, aku bisa pulang sendiri!'' Hanna menepis tangan Kris dan berjalan tertatih memasuki Taxi.

Hanna bersikeras untuk pulang sendiri, meskipun Kris memaksa tapi tetap Hanna tidak mau menerima kebaikan Kris lagi. Kris akhirnya menyerahkan Hanna kepada supir Taxi untuk membawanya dengan hati-hati.



"Jadi kau akan menyerah pada Kris?'' Nana bertanya setelah mendengar keseluruhan cerita Hanna tentang sebab dia terluka dan keinginannya untuk mengakhiri cinta sepihaknya, dia menjenguk Hanna di rumahnya bersama kedua temannya, Rara dan Nayeon.
"Aku pernah mendengarnya ribuan kali, tapi kau tetap kembali mengejarnya.'' Rara berkata.
"Kali ini aku yakin aku bisa, aku bersumpah.'' Hanna meyakinkan ketiga sahabatnya.
"Jangan pikirkan itu, sebaiknya kau khawatirkan lukamu.'' Nana berkata.
"Benar,'' Nayeon mengangguk. "Apa kau sudah meminum obatmu?''
"Eoh.'' Hanna mengangguk.
"Kris memang keterlaluan, mendorongmu sampai terjatuh.'' Rara mengepalkan tangannya.
"Dia pasti tidak sengaja,'' Nana mencoba menenangkan.
"Benar, Kris bukan pria yang suka main kekerasan.'' Nayeon membenarkan Nana.
"Malam ini kami akan menemanimu, kami akan tidur di sini.'' Rara berubah ceria.
"Benarkah?'' Hannapun ikut menjadi ceria. Keempat gadis itu melupakan luka Hanna dan justru mulai mencari film untuk mereka tonton, suasana sedih karena cerita Hanna tentang rencananya mengakhiri cinta sepihaknya menguap begitu saja dengan kebersamaan mereka.



"Apa selama ini aku memberikan harapan pada Hanna?'' Kris menemui Sehun yang sedang kerja paruh waktu di Cafe Coffe.
"Entahlah, kenapa?''
"Dia bilang agar aku berhenti berbuat baik padanya.''
"Mungkin karena kau selalu baik padanya itu membuatnya tidak bisa berpaling darimu.''
"Begitukah? Apa aku perlu menjauhinya''
"Tapi dia selalu bersama kita, dia juga teman bermain Biliar untukku di hari bebasku dari pekerjaan ini.''
"Lalu.''
"Tidak perli menjauh, kau cukup jangan melakukan apapun untuknya, seperti membuat dia merasakan keberadaanmu tidaklah penting.''
"Begitu...''
"Nikmatilah kopimu...ada pelanggan datang.'' Sehun berdiri untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Thanks,'' Kris tersenyum saat Sehun menepuk punggngnya.
Kris mengingat pertama kali berkenalan dengan Hanna, saat itu Hanna akan membayar makanannya di kantin tapi uang di kantongnya tidak ada sehingga Kris yang ada di sampingnya mengeluarkan uang untuk Hanna, saat itulah Hanna terpesona begitu Kris mengatakan mereka satu kelas. Kris mengingat apa saja yang sudah dilakukannya untuk Hanna berikutnya, dia membantu Hanna mencari cincin yang jatuh di lantai saat semua siswa sudah pulang. Kris ingat pernah menggendong Hanna yang terkilir saat lompa tinggi. Masih banyak hal yang muncul dalam ingatan Kris tentang apa yang dia lakukan untuk Hanna, dia sendiri tidak tahu kenapa selalu tergerak untuk seperti itu.
"Apa aku menyukainya?'' Kris bertanya pada dirinya sendiri. "Tidak. Dia cantik tapi kecantikannya hanya make up. Dia juga bodoh. Dia banyak bicara, sungguh tidak ada hal yang harus aku sukai darinya. Lagipula aku tidak ingin terlibat cinta apapun sampai aku pindah.''



Kris memasuki kelasnya yang sudah ramai, dia menatap Hanna yang sedang membaca sebuah majalah tapi dia tidak menyapa. Kris duduk ke mejanya. Hanna sebenarnya ingin melihat Kris tapi dia menahan dirinya dan terus menatap majalah di tangannya.
"Ya! Kris kau membuat tangan partnerku terluka, apa kau tidak akan meminta maaf.'' Jongin berkata saat melihat Hanna dan Kris tidak seperti biasanya.
"Oh. Lee Hanna, maaf.'' Kris berkata dengan dingin.
"Hanya itu?'' Jongin berdiri, Sehun langsung menariknya duduk kembali.
Nana dan Rara memandang Kris, menanti reaksi Kris, tapi Kris tidak menunjukan ekspresi apapun.
"Aku sudah bertanggung jawab pada lukanya, aku mengantarnya ke Rumah sakit, apa lagi?'' Kris berkata.
"Aighoo,''
"Sudahlah, aku baik-baik saja.'' Hanna angkat bicara. "Aku juga tidak ingin mendapatkan perhatian apapun dari Kris.''
"Oh, itu terlihat bukan seperti Hanna.'' Jongin berkata.
"Sudahlah.'' Sehun memukul dada Jongin agar tidak ikut campur.
Kris pura-pura membaca buku tapi sesekali dia melirik Hanna. Hanna mencoba untuk menekan keinginannya untuk berbalik menatap Kris seperti biasa.






Friends series (Kris_Lee Hanna: LOve or LOveless)








Friend
LOve OR loveless





Main cast
Wu Yi Fan
Oh Sehun
Kim Jongin
Yixing
Lee Hanna
Kim Nana
Jang Rara
Han Nayeon


Di koridor lantai 3, SMU Seungri, tepatnya di depan kelas 2.6, delapan murid tengah asik berbincang. Mereka adalah : Kris, Sehun, Jongin, Lay, Hanna, Nana, Rara, dan Nayeon.

Wu Yi Fan, murid lelaki dari kelas 2.6 di SMU Seungri. Putra salah satu pemilik beberapa Club malam di Gangnam. Dia keturunan Cina tapi tinggal di Korea sudah cukup lama, sejak dia remaja. Penampilannya menarik hati banyak gadis di sekolahnya dengan tubunya yang tinggi dan wajah tampannya. Hanya saja dia tidak pernah menanggapi semua murid perempuan yang mengejarnya, bahkan sekalipun teman dekatnya, Hanna. Dia lebih di kenal dengan nama Kris.
Lee Hanna, gadis cantik dengan rambut panjang sepunggung berwarna coklat dan selalu menarik perhatian siswa lelaki di sekolahnya, tapi obsesinya pada Kris membuatnya mengabaikan pria manapun meskipun Kris tidak pernah menanggapinya. Hanna sangat suka berbelanja dan mentraktir teman-temannya, meskipun kadang sifatnya yang memaksa membuat teman-temannya jengah tapi selalu ada hal baik padanya yang membuat teman-temannya akan memaafkan gadis itu.
Oh Sehun, pria dengan ekspresi dingin setiap saat. Dia juga memiliki banyak fans girl di sekolah karena ke tampanannya. Dia jarang sekali memberikan senyumnya untuk orang lain tapi bagi teman-temannya itu bukan hal buruk dari Sehun karena mereka terbiasa.
Kim Nana, gadis yang ceria dan selalu berpikiran positif, dialan penyatu dalam geng kelasnya tiap ada pertengkaran. Dia mungkin tidak bisa ilmu bela diri seperti Rara tapi dia yang paling berani dalam menghadapi serangga di banding ke tujuh temannya.
Kim Jongin, seorang murid SMU yang lebih mengagumi gadis-gadis seniornya daripada teman sekelasnya. Orang bisa mengatakan dia anak remaja yang masih polos, tapi semua teman dalam gengnya tahu berapa banyak dia berkencan dengan perempuan yang lebih tua darinya. Dia selalu bisa mengeluarkan pesonanya untuk memikat para gadis, baik itu ketampanannya atau kepandaiannya dalam menyusun kalimat.
Jang Rara, dia mempunyai sabuk hitam dalam judo. Dia memiliki tubuh paling seksi diantara semua teman satu gengnya. Dan sudah ribuan kali Jongin merayunya. Tapi dia adalah murid terpayah di dalam kelas, nilainya tidak pernah lebih dari nilai rata-rata, tidak pernah sekalipun meskipun dia mendapat pertolongan dari si bintang kelas, Nayeon.
Yixing, dia paling dewasa dari semua temannya. Kebanyakan temannya memanggilnya Lay. Dia juga merupakan keturunan Cina. Dia ikut bersama orang tuanya yang di tugaskan untuk bekerja di korea.
Han Nayeon, bersifat kekanakan tapi cerdas. Dia merupakan gadis polos yang selalu ramah pada siapapun, termasuk orang yang meremehkannya. Dia juga tidak pernah menyadari tentang Lay yang begitu menyukainya.
kedelapan siswa itu mulai berteman satu sama lain sejak mereka memasuki kelas 1.6, setahun yang lalu. Walaupun pada hari pertama mereka di kelas menjadi orang asing yang tidak saling mengenal tapi mereka kemudian menjadi dekat satu sama lain.

Hari pertama di kelas 1.6

Di papan pengumuman utuk pembagian kelas seorang gadis terjatuh karena di tarik murid yang lain, gadis itu adalah Nyeon. Tanpa di duga ada Hanna yang langsung membantu Nayeon berdiri.
"Trimakasih,'' Nayeon tersenyum saat meraih tangan Hanna untuk bangun. Hanna membalas senyum Nayeon dan langsung beralih pada perempuan yang tadi menarik Nayeon.
"Kau harus minta maaf padanya.'' Hanna berkata dengan meraih bahu gadia itu.
"Apa urusannya denganmu! Hah!" Gadis itu mendorong bahu Hanna.
"Kau membuatnya jatuh! Kau harus minta maaf!"
"Salah dia tidak mau minggir!"
Pertengkaran itu menjadi tontonan siswa lain. Hanna masih bersikukuh agar gadis di depannya meminta maaf.
"Aku tidak apa-apa,'' Nayeon meraih tangan Hanna.
"Lihatlah, gadis bodoh itu tahu kalau tidak seharusnya kalian menggonggong! Atau aku akan menjadikan kalian musuhku di hari pertama kita, dan asal kau tahu, aku akan jadi penguasa di sini bersama teman-temanku!" Gadis itu tersenyum sinis, lalu dua temannya berdiri di sampingnya memandang Hanna dengan tidak kalah galaknya dari gadis itu.
"Ya! Kau!" Seorang gadis muncul dengan menyeringai. Kedatangan Rara menjadi pusat perhatian para siswa laki-laki yang tadi tidak peduli dengan keributan para gadis itu. "Kau mau jadi sok berkuasa di tahun pertamamu? Apa kau ingin melawanku? Kau bisa memilih, kita bertanding Judo? Atau tinju?''
"Apa kau juga teman para manusia bodoh ini? Jang Rara?''
"Ho...kau tidak lupa kan kalau aku pernah mematahkan tanganmu? Shin Shekyung?''
"Kau sudah tidak punya pasukan apapun di sini? Apa yang aku takutkan.''
"Apa aku boleh bergabung?'' Gadis manis dengan rambut tergulung ke atas menghampiri Hanna. "Aku tidak suka melihat ke angkuhanmu jadi biar aku memberimu sesuatu.'' Tanpa meminta persetujuan Shekyung, Nana menarik telapak tangan gadis itu dan meletakan seekor kecoa.
"Arghh!" Shekyung menjerit histeris. Dia bergidik setelah melempar kecoa itu dari tangannya.
"Kalau kau tidak menutup mulutmu sekarang juga, aku akan memberikan lebih banyak lagi itu padamu, di tumpukan kardus di sana banyak.'' Nana menunjuk kardus yang tertumpuk di sudut lorong.
"Issssh,'' Shekyung pergi dengan di ikuti kedua temannya.
"Kau hebat sekali,'' Hanna menunjukan ibu jarinya.
"Benar, kau bisa menanganinya lebih cepat dariku.'' Rara berkata.
"Trimakasih semuanya, maaf merepotkan kalian.'' Nayeon membungkuk.
"Kau harus memberikan pelajaran pada orang yang menindasmu.'' Hanna berkata.
"Benar,'' Nana berkata secara bersamaan dengan Rara.
"Sekali lagi terimakasih,'' Nayeon kembali membungkuk.
"Jangan sungkan, kenalkan namaku Nana. Kim Nana,'' Nana memulai perkenalan mereka,
"Aku Nayeon, Han Nayeon.''
"Hanna, aku Lee Hanna.''
"Kalian bisa memanggilku Rara, namaku Jang Rara.'' Rara tersenyum. ''Kalian masuk kelas mana?''
"1-6." Jawab Nana.
"Aku juga.'' Hanna berbinar senang.
"Aku juga di kelas 1-6," Mata Nayeon tidak kalah berbinar dari Hanna.
"Berarti kita semua satu kelas,'' Rara berkata.
"Whoaa...apa ini takdir.'' Nana tertawa.
"Kalau begitu apakah kita akan berteman?'' Hanna tersenyum.
"Kenapa tidak.'' Rara tertawa.
Di kelas 1.6, para siswa sedang mencari tempat duduk yang menurut mereka paling nyaman. Kris berjalan menuju sudut ruangan yang ada di sebelah jendela, dan duduk di sana. Seorang pria tiba-tiba menghampiri Kris, Lay.
"Bisa aku duduk di sebelahmu?'' Lay bertanya, Kris hanya mengangkat bahu untuk memberi tanda tidak keberatan.
Sehun memasuki kelas dengan tatapan dingin tanpa peduli dengan wajah-wajah yang akan jadi teman sekelasnya. Sehun duduk di meja belakang, tepat di samping meja Kris dan Lay.
Hanna bersama ketiga temannya memasuki kelas, di sana hanya ada dua meja tersisa. Hann memutuskan membawa Nayeon untuk duduk dengannya di samping jendela, Nana dan Rara tentu saja duduk di meja samping meja Hanna. Mereka duduk di baris meja kedua dari belakang. Mereka tidak pernah menduga jika mereka akan mendapat jalan takdir dengan pria yang duduk di belakang mereka.
Bel masuk berbunyi, seorang murid muncul di pintu dengan nafas terengah-engah karena berlarian sepanjang lorong. Dia memandang berkeliling untuk mencari bangku kosong sampai matanya menangkap bangku di samping Sehun, diapun melangkah dengan cepat. Dia adalah Jongin, Tapi langkahnya terhenti saat melewati Rara.
"Aku tidak menyangka menemukan bidadari di kelas ini,'' Jongin tersenyum pada Rara. Rara tetap cuek. "Maukah kau berkencan denganku?''
"Apa kau membenturkan kepalamu saat pergi kemari?'' Rara mencibir.
Jongin sudah akan melanjutkan kalimatnya, tapi kedatangan Guru Jang membuatnya segera duduk.
"Aku akan memilikinya,'' Jongin berbisik pada Sehun yang bahkan belum di kenalnya, Sehun tidak mengacuhkan pria itu sama sekali, sampai kemudian Jongin merangkulnya.
"Namaku Jongin, Kim Jongin. Siapa namamu?''
"Oh Sehun.'' Sehun menjawab tanpa memandang Jongin, dia lurus menatap wali kelasnya di depan.



Sehun baru pulang dari kerja paruh waktunya, tanpa di duga dia bertemu beberpa preman yang meminta uang padanya sehingga terlibat perkelahian. Sebenarnya Sehun menguasai Takewondo dengan baik hanya saja lawan tidak seimbang, dia harus melawan empat orang. Sehun sudah babak belur, tapi dia belum mau menyerah.
"Apa kalian tidak tahu malu? Empat lawan satu? Cih!" Suara pria terdengar dari belakang Sehun. Kris.
Sehun hanya menyerngit memandang pria jangkung yang menghampirinya, dia sama sekali tidak merasa mengenal pria itu.
"Ya! Bocah, jangan ikut campur!" Teriak salah seorang preman.
"Dia temanku, bagaimana mungkin aku tidak ikut campur.'' Perkataan Kris mengejutkan Sehun, tapi Sehun tidak mengatakan apapun, dia memang membutuhkan bantuan tidak peduli siapapun itu.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kau merasakan hal yang sama dengan sahabatmu.'' Si preman menyeringai.
Perkelahian jadi imbang dengan kedtangan Kris. Dan Akhirnya justru para preman itu lari meninggalkan Kris dan Sehun karena tidak bisa mengalahkan keduanya.
"Trimakasih atas bantuanmu. Jadi bagaimana kau mengenalku?'' Sehun bertanya setelah mengatur nafasnya.
"Seragammu adalah seragam sekolahku, dan sepertinya aku pernah melihatmu di kelas.''
"Kelas? Kelas 1-6?"
"Benar, jadi kau benar-benar teman sekelasku.'' Kris menepuk pundak Sehun.
"Namaku Oh Sehun.''
"Kau bisa memanggilku Kris,'' Sekali lagi Kris menepuk pundak Sehun.
"Sampai besok bertemu di sekolah.'' Sehun berlalu pergi.



Lay ikut mengunjungi salah satu teman baik ayahnya yang di rawat di rumah sakit. Dia terkejut melihat Jongin yang berada di kamar rawat itu. Walaupun Lay tidak tahu nama Jongin tapi dia yakin pria itu teman sekelasnya.
"Kau mengenalku kan?'' Lay menghampiri Jongin.
"Sepertinya kau teman sekelasku.'' Jongin tersenyum.
"Namaku Lay,''
"Aku Jongin, tidak menyangka kalau anak teman ayahku adalah teman sekelasku.'' Jongin menggaruk lehernya.
"Benar,'' Lay terkekeh.

Saling melengkapi, saling menyukai, dan kemudian berteman...


Sekali lagi Nayeon bertemu dengan Shekyung di toilet yang langsung mengenalinya sebagai gadis pembuat masalah di depan papan pengumuman tempo hari dengannya. Nayeon hanya bisa pasrah dengan apa yang akan dilakukan Shekyung padanya, tapi seseorang datang menghampirinya.
"Lay...'' Shekyung terpekik.
"Jangan mengganggunya lagi, dia teman sekelasku.'' Lay berkata.
"Hoh! Oppa! Kau tidak tahu apa-apa,''
"Aku melihatnya, saat kau menjatuhkannya kemarin,'' Lay mendorong kepala Shekyung dengan telunjuknya. "Aku ingin memukulmu saat itu, tapi sudah ada yang memberimu pelajaran, kau keterlaluan.''
"Oppa!"
"Kalau kau terus membully temanmu maka aku akan mengatakan pada immo kalau kau jadi biang onar di sekolah.''
"Oppa! Kenapa kau membelanya? Apa kau menyukainya? Harusnya kau membelaku! Kau sepupuku!"
"Ya! Shin Shekyung, jangan bicara omong kosong!"
"Aish!" Shekyung pergi dengan kesal.
"Terimakasih,'' Nayeon dengan malu-malu berkata.
"Oh, kau tidak apa-apa.'' Lay beralih menatap gadis di belakangnya.
"Eoh.'' Nayeon mengangguk dengan tersipu.
"Sepupuku memang sedikit kasar, maafkan dia.''
"Iya, tidak apa-apa.''
"Namaku Yixing tapi kau bisa memanggilku Lay,'' Lay mengulurkan tangannya.
"Han Nayeon.'' Nayeon menyambut uluran tangan Lay lalu dengan gugup menariknya lagi setelah berjabat tangan singkat.
"Aku duduk di belakangmu, apa kau tidak tahu?''
"Benarkah?'' Nayeon memberanikan diri menatap Lay.
"Tidak masalah kalau kau tidak menyadarinya, tapi kau sudah tahu sekarang.''
"Iya...'' Nayeon tersipu.
Lay tersenyum dengan tingkah Nayeon yang terus saja tersipu di depannya. Dia menyadari satu hal, senyuman Nayeon begitu indah.
Di dalam kelas 1.6, tepatnya di bangku belakang ada dua orang siswa sedang mendekati siswa lain untuk di ajaknya berkencan. Di satu sisi ada Jongin yang merayu Rara, di sebelah meja mereka ada Hanna merayu Kris. Dan diantara kedua sepasang remaja itu ada Nana dan Sehun yang memandang acuh tak acuh pada keduanya.
"Apa makanan kesukaanmu?'' Hanna bertanya pada Kris yang sedang membaca majalah otomotif. "Warna kesukaanmu apa? Kemana biasanya kau jalan-jalan.'' gadis ini terus bertanya meskipun Kris diam saja.
Sedangkan Jongin juga terus merayu Rara untuk mau pergi dengannya. "Kau bisa memilih untuk aku jemput dengan motor atau mobil.'' Tapi semua penawaran Jongin tidak membuat Rara menerima ajakan Jongin.
"Kenapa temanmu tidak punya malu sama sekali?'' Sehun berkata pada Nana dengan menatap Hanna yang terus mencoba menempel Kris.
"Bahkan aku heran pada temanmu yang membicarakan kencan di hotel padahal usianya masih 16 tahun.'' Nana geleng-geleng kepala menatap Jongin meskipun dia sedang bicara dengan Sehun.
Tapi, meskipun percintaan Hanna dan Jongin tidak ada perkembangan selama satu tahun mereka bersama dalam satu kelas tapi persahabatan ke delapan anak ini menjadi begitu dekat. Begitulah jika kita hidup berdekatan dalam waktu yang lama, maka kita akan mengenal satu sama lain dengan baik, entah itu tentang hal yang baik atupun hal yang buruk, tapi mereka masih bersama sampai sekarang berada di kelas 2. Kedelapan anak ini juga tetap mengambil posisi duduk yang sama di kelas baru mereka sekarang.
"Ini sudah setahun dari pertama aku mengatakan 'aku mencintaimu' Apa kau tidak akan menerimaku?'' Hanna mendekati Kris yang sibuk menyalin tugas matematika dari buku Hanna. "Kau selalu mengabaikanku.'' Hanna memukul kepala Kris dan pergi.
"Aish.'' Kris memegang kepalanya yang tadi di pukul Hanna.
"Apa kau benar-benar tidak akan menerimanya?'' Sehun tersenyum sinis.
"Kenapa? Kau menyukainya, ambil saja.'' Kris berkata, dia menatap pria yang duduk di meja sebelah mejanya.
"Dia punya ketulusan tapi bukan tipeku.'' Sehun mencibir. "Aku tidak suka gadis yang takut kulitnya terbakar matahari.''
"Kau bisa berkencan dengan Nana kalau begitu, bukankah di sangat menyukai lapangan daripada di kelas.'' Kris berkata, dia kembali sibuk pada tugasnya.
"Begitukah?'' Sehun tersenyum sinis. "Tapi bagaimanapun juga, Hanna sudah begitu baik jadi jangan terlalu kasar padanya.''
"Hey...kenapa kau berkata seperti itu? Apa kau memang menyukainya.''
"Entahlah? Tapi aku kasihan padanya.'' Sehun mengangkat bahu, lalu berdiri. "Aku akan ke kantin menyusul yang lain, apa kau tidak ingin makan.''
"Pergilah.''
"Baiklah, aku pergi.'' Sehun beranjak dari tempatnya.
Kris menatap punggung Sehun dan bergumam, "Apa dia menyukai Hanna?'' Perasaan Kris jadi gelisah tapi kemudian dia menghela nafas dan kembali melanjutkan tugasnya.
Hanna mendekati Rara, Nana dan Nayeon yang sedang makan di kantin. Dia mengambil makanan Nana dan memakannya dengan kesal.
"Kau kenapa?'' Nana bertanya.
"Apa aku kurang cantuk?''
"Hah?'' Ketiga teman Hanna bingung arah pertanyaan gadis itu.
"Aku cantikkan? Bahkan banyak murid laki-laki mengirimkan coklat padaku, benarkan?'' Hanna bertanya dan di jawab anggukan oleh ketiga temannya. "Lalu kenapa Kris terus menolakku?''
"Apa mungkin dia gay?'' Rara berpendapat yang langsung membuat ketiga temannya melotot.
"Iiih...apa mungkin?'' Hanna bergidik.
"Kalian jangan bicara sembarangan.'' Nana berkata, dan di sebelahnya Nayeon mengangguk.
"Tapi dia selalu bersama Sehun tiap jam istirahat,'' Rara berkata.
"Lay juga bersama Jongin.'' Nana menjawab.
"Tapi Lay dan Jongin kadang makan bersama kita, seperti tadi, lalu bagaimna dengan Kris dan Sehun...jarang sekali mereka makan bersama kita.'' Rara berkata.
"Mana mungkin, itu tidak mungkin.'' Hanna menjadi sedih. "Kris-ku tidak boleh seperti itu.''
"Bagaimana kalau kita uji coba saja.'' Rara memberi saran.
"Bagaimana caranya?'' Hanna menyerngitkan dahinya.
"Coba terus menyentuhnya, apa dia akan tergoda.''
"Aku terus mengelilinginya, dia tidak peduli.''
"Kau harus menyentuh pada titik-titik sensitifnya, atau menyentuhnya penuh godaan.''
"Apa?'' Ketiga di samping Rara menatap dengan bingung.
"Begini,'' Rara menggunakan telunjuknya untuk menelusuri pergelangan tangan Hanna dengan lembut. "Atau begini,'' Telunjuk Rara menyapu leher Hanna sampa ketengkuknya.
"Aish.'' Nana menggigit bibirnya melihat temannya sedang memperagakan adegan romantis dalam beberapa drama yang di tontonnya. "Apa kau coba merangsangnya?''
"Heh?'' Hanna menatap Rara. "Nana benar, apa kau menyuruhku untuk membuatnya terangsang padaku?''
"Kalau dia terangsang berarti normal, kalau tidak berarti...kau harus menyerah, mungkin saja dia gay.''
"Oh...'' Hanna cemberut.



Hanna meminta Lay untuk bertukar tempat duduk dengannya saat pelajaran bahas inggris dengan alasan Kris bisa mengajarinya dengan baik. Kris sebenarnya ingin menolak tapi Lay justru tidak keberatan. Nana dan Nana hanya mengedipkan mata untuk menyemangati temannya saat Hanna menatap keduanya, sedangkan Nayeon justru cemas kalau Hanna akan mendapat masalah dari Guru Park jika bermain-main dalam pelajaran Bahasa Ingris.
"Wah...kulitmu lebih bagus dari kulitku.'' Hanna mulai menyentuh tangan Kris dengan telunjuknya dari pergelangan tangan sampai ke siku pria itu, dia tersenyum menikmati sentuhannya tapi senyumnya hilang saat melihat tatapan tajam Kris padanya. Hannapun menarik tangannya. Hanna memandang ke arah Rara yang memandangnya memberi semangat. Hanna menarik nafas panjang, dan sesaat kemudian telunjuknya sudah menyentuh leher Kris membuat pria itu menoleh dengan wajah dinginnya.
"Ada noda di sana,'' Hanna pura-pura mengelap leher Kris. "Bagaimana bisa ada noda tinta di sana?'' Tangan Hanna masih terus mengusap leher Kris yang sebenarnya tidak ada apapun.
"Hentikan!'' Kris meraih tangan Hanna. Dia berteriak dengan keras sampai seluruh isi kelas menatap ke arah mereka, untung Guru Park sedang keluar. "Kembali ke mejamu kalau kau hanya akan menggangguku!"
"Kris...'' Lay menatap sahabatnya.
"Baiklah aku akan kembali ke mejaku.'' Hanna berdiri, dia menghampiri Lay yang langsung berdiri dan kembali ke kursinya.
"Kau baik-baik saja,'' Nayeon berbisik lirih pada Hanna.
"Bagaimana aku baik-baik saja, seluruh kelas menatapku.''
"Tenanglah,'' Nayeon menggenggam tangan Hanna.
Di sebelah meja Hanna, Nana dan Rara merasa bersalah pada sahabatnya. Mereka menatap Kris dengan kesal.
"Hey, mata kalian akan keluar.'' Jongin memukul kepala Rara dan Nana yang menatap Kris penuh kemarahan.
"Aish!" Rara beralih menatap Jongin dengan kesal. "Kau membela temanmu.''
"Bukankah, Kris juga temanmu.'' Jongin berkata.
"Tapi Hanna temanku juga,''
"Hanna terus menggoda Kris, siapa yang tidak akan terganggu.'' Sehun tiba-tiba berkata. "Aku bersimpati padanya tapi kali ini dia yang bersalah.''
"Kenapa?'' Nana memandang galak ke arah Sehun.
"Aku bertanya-tanya siapa yang mengajari hal bodoh itu untuk di lakukan di sekolah?'' Sehun tersenyum sinis kepada Rara.
"Apa?'' Rara berdiri berkacak pinggang. "Kenapa kau menatapku seperti itu?''
"Aish.'' Jongin menarik Rara untuk duduk kembali.
"Kenapa kalian ribut.'' Lay berkata.



Hanna masih tidak mau memikirkan kalau Kris Gay meskipun godaannya tidak berpengaruh sama sekali. Dia bahkan menyusun rencana untuk menggoda Kris lebih lagi. Dan kesempatan itu dia lakukan saat lapangan basket, saat guru olah raga menyuruhnya membereskan bola bersama Kris usai praktek selesai. Dia sengaja mengambil bola yang di pegang Kris dari belakang pria itu sehingga mereka seperti sedang berpelukan. Kris tertegun untuk beberapa saat tapi kemudian melepaskan Hanna dengan kasar.
"Aish, apa sebenarnya yang sedang kau pikirkan?'' Kris marah tapi tidak berteriak seperti kemarin, dia masih ingat teman-temannya yang memandang mereka, dan lebih lagi dia tidak ingin mempermalukan Hanna untuk kedua kali.
"Mencari tahu sesuatu.''
"Apa?''
"Kau lelaki normal, atau tidak.''
"Apa?''
"Aku ingin tahu apa kau tergoda?''
"Cih!" Kris tertawa sinis. "Lalu apa kau tahu jawabannya?''
"Kau sama sekali tidak tergoda, apa kau gay?''
"Apa?''
"Aku menyentuhmu di sini,'' Hanna menyentuh lengan Kris dengan telunjuknya secara pelan seperti kemarin. "Dan wajahmu tidak ada perubahan.'' Hanna menatap Kris yang tengah mentapnya.
"Lalu aku juga sudah menyentuh lehermu,'' Tangan Hanna menyentuh leher Kris. "Dan kau masih tidak menunjukan perubahan apapun.'' Hanna menatap Kris meskipun tangannya masih di tengkuk pria itu.
"Bahkan aku memelukmu, dan kau masih menatapku dengan kemarahan yang sama tiap kali aku mendekatimu. Apa kau gay.'' Tangan kiri Hanna yang bebas menyentuh dada Kris sampai kemudian dia bisa merasakan degupan jantung Kris yang begitu cepat. Hanna mwngerjapkan matanya, menatap dada Kris yang naik turun begitu cepat. Hanna kembali menatap mata Kris, meskipun mata itu masih memancarkan sinar yang sama tapi Hanna tahu Kris tergoda olehnya. Sebelum Hanna menarik tangannya dari Kris, pria itu sudah menangkup wajahnya.
"Kau yang menginginkannya.'' Kris berkata dengan parau sebelum akhirnya mengecup bibir Hanna. Hanna tidak tahu harus bagaimana saat Kria mengecup bibirnya, sekali dua kali, tiga kali sampai kemudian ciuman itu menjadi dalam dan lama. Bahkan Hanna bisa merasakan nafas hangat Kris yang menerpa kulitnya. Hanna merasakan ciuman Kris seperti semakin ingin membinasakannya dengan buasnya. Kris semakin mendorong Hanna sampai kemudian mereka terpojok pada pintu aula basket.
"Kris!" Hanna mendorong Kris untuk lepas dari tubuhnya saat dia merasakan tangan Kris mulai meraba dadanya.
"Kenapa? Bukankah kau menginginkan ini?'' Kria menyeringai.
Tiba-tiba seseorang mendorong pintu. Hanna dan Kris saling pandang sebelum akhirnya sama-sama menjauh. Mereka kembali memungut sisa bola di lantai. Guru Yoo muncul dari balik pintu.
"Aku membutuhkan Kris, jadi Hanna bisakah kau memereskan ini sendiri.'' Guru Yoo berkata.
"Baik,'' Hanna membungkuk.
"Kenapa dengan wajah kalian, kenapa memerah? Apa di sini terlalu panas.''
Hanna hanya menunduk, dia tidak berani menatap Guru Yoo apalagi Kris.


Ciuman tanpa cinta...

Setelah ciuman di aula basket, Hanna tidak melihat ada yang berubah dari Kris. Pria itu masih menatapnya dengan sama, padahal Hanna merasakan dadanya berdetak kencang kalau mengingat kejadian beberapa jam lalu. Hanna belum bisa menceritakan tentang ciumannya pada teman-temannya, seperti ada sesuatu yang membuatnya tidak berani untuk bercerita, dia malu.
Hanna berdiri di depan Kris saat pria itu berdiri dari kursinya untuk menyusul teman-temannya yang sudah keluar kelas. Kris menyerngit menatap Hanna yang berwajah marah di depannya. Suasana kelas sudah sepi karena semua siswa sudah keluar begitu bel pulang berbunyi.
"Kenapa?'' Kris tersenyum mengejek. "Apa kau menginginkan kita melanjutkan ciuman tadi.''
"Katakan, kau menyukaiku kan? Kenapa kau tidak mengatakan itu meskipun kau menciumku.''
"Apa aku harus menyukaimu baru bisa menciummu?''
"Hah?''
"Aku melakukannya karena hormon. Apa kau tahu? Itu emosi yang muncul saat kau menyentuhku, karena kau wanita, jadi aku melakukannya.''
"Aish!" Hanna cemberut. "Jadi kau menciumku hanya karena hormon?''
"Apa kau ingin menggodaku lagi?'' Kris mendekati Hanna, gadis itu dengn reflek mundur dan tangannya tersilang di depan dadanya karena mengingat kejadian beberapa jam yang lalu saat Kris menyentuh dadanya.
"Hmm,'' Kris masih menunjukan senyuman mengejeknya pada reaksi Hanna di depannya. "Kau mengingatnya? Jadi jangan menggodaku atau aku bisa melakukan lebih dari itu, meskipun aku tidak menyukaimu.'' dia melewati Hanna yang mematung , dia berjalan tanpa menoleh sedetikpun pada Hanna yang begitu kesal dengan perkataan Kris. Hanna berbalik tapi pria itu sudah tidak ada di kelas.
"Kenapa aku menyukai si brengsek itu!" Hanna mencengkeram erat roknya karena kesal.
"Ya! Apa kau tidak akan ikut?'' Tiba-tiba muncul Nana di pintu.
"Eoh.'' Hanna menghela nafas dan menghampiri temannya, mereka akan bermain bilyard bersama. Hanna dan Nana memang pandai bermain Bilyard, Sehun dan Jongin menyukai permainan dua gadis itu. Sehun selalu satu tim dengan Nana, dan Hanna akan bersama Jongin. Mereka bermain Bilyard di tempat milik ayah Kris, jadi mereka bisa melakukannya dengan leluasa.
"Kau terlihat terus cemberut,'' Jongin merangkul Hanna saat naik ke lantai dua, menuju tempat mereka bermain.
"Dia terus seperti itu sejak dari sekolah.'' Nana yang ada di depan keduanya mengomentari.
"Apa terjadi sesuatu?''
"Jongin ahh, apa kau pernah berciuman dengan orang yang tidak kau suka?''
"Kenapa?''
"Ada pria yang menciumku hanya karena hormon.''
"Benarkah,'' Jongin terkekeh. "Jadi kau berkencan dengan pria tapi dia tidak menyukaimu, hanya berkencan?''
"Bahkan kami tidak berkencan.''
"Oh, berarti dia hanya tergoda. Begitu.''
"Jadi lelaki seperti itu? Apa kau juga pernah melakukannya? Bagaimana? Apa kau jatuh cinta setelahnya?''
"Hmm, aku rasa aku pernah tapi tidak jatuh cinta. Saat itu kakak kelasku mengatakan menyukaiku, karena dia cantik meskipun aku belum mengenalnya, kami berciuman.''
"Apa semua laki-laki seperti kalian.'' Hanna memukul kepala Jongin.
"Aku bisa berciuman denganmu, dan kita lihat apakah aku akan berpindah jatuh cinta padamu, lalu melupakan Rara.''
"Apa kau mau mati!" Hanna mencekikik Jongin, tentu saja Jongin langsung berlari menyelamatkan diri.
Di lantai dua sudah ada Kris dan Lay bersama Sehun. Rara dan Nayeon tidak ikut karena ada urusan. Tidak banyak perempuan di ruang bilyard itu untuk memainkan stick beradu dengan bola-bola di atas meja, kebanyakan permpuan di sana hanya menemani para pria bermain. Lain halnya dengan Hanna dan Nana yang menguasai dengan baik permainan itu, tapi untuk saat ini Hanna bermain dengan payah membuat Jongin beberapa kali berteriak kesal. Pada akhirnya tim Nana-Sehun menang dari Hanna-Jongin.
"Baiklah, aku yang mentraktir kalian, karena kekalahan ini salahku.'' Kata Hanna.
"Aish.'' Jongin merangkul Hanna. "Aku yang akan mentraktir, karena wanitaku ini sedang dalam mood yang jelek.'' Jongin berkata.
"Wanitaku?'' Semua terkejut dengan perkataan Jongin.
"Apa tidak boleh menyebutnya begitu?'' Jongin cemberut.
"Aku akan mengatakan ini pada Rara,'' Hanna memukul kepala Jongin.
"Gadis itu terus mencampakanku.'' Jongin berkata.
"Kau juga terus berkencan dengan para oeni.''
"Lalu apa aku harus menjadi pendeta untuk menunggu Rara?''
"Setidaknya tunjukan ke tulusanmu!"
"Seperti kau mengejar Kris, tanpa memperdulikan pria lain, ah salah...kau juga sudah mulai punya pria lain.'' Jongin berkata, lalu dia berbisik ke telinga Hanna dengan sangat lirih agar yang lain tidak mendngar. "Pria dengan hormon itu.''
Semua menatap Hanna, termasuk Kris. Hanna dengan tergagap berkata, " Ke-kenapa kalian menatapku seperti itu?''
"Kau dekat dengan seorang pria tanpa aku ketahui?'' Nana memandang Hanna penuh selidik.
"Ah, sudahlah ayo kita makan ramen, aku lapar.'' Hanna bergegas keluar.
"Aish, gadis ini.'' Nana mengejar Hanna.
"Bagaimana Kris? Kau akan membiarkannya di ambil pria brengsek itu?'' Jongin bertanya.
"Memangnya kau mengenal pria itu?'' Sehun balik bertanya.
"Aku bisa melihat kalau pria itu adalah orang cabul.'' Jongin berkata. "Ini adalah instingku.''
"Apa kau akan membiarkannya?'' Jongin bertanya.
"Dia bukan pacarku.'' Kata Kris. "Pergilah, aku tidak bisa ikut makan ramen bersama kalian.''
Selepas kepergian ketiga temannya, Kris memikirkan siapa pria yang di maksud Jongin karena setahunya tidak ada pria yang di terima Hanna dari banyaknya surat cinta yang datang pada gadis itu dalam berbagai kado. Sebutan pria cabul dari Jongin membuatnya khawatir kalau Hanna mendapat masalah.



Hanna menatap kesal wajah Kris di layar ponselnya. Bagaimana bisa ciuman itu terjadi hanya karena hormon. Hanna terus mengutuki Kris yang membuat ciuman pertamanya tanpa cinta. Tapi Hanna tersenyum kalau mengingat ciuman itu lagi, setidaknya ciuman pertamanya adalah dengan pria yang di cintainya.
"Jadi kalau aku menggodamu, kau akan menciumku?'' Hanna tersenyum memikirkan sebuah ide. "Berarti aku bisa mendapatkan ciuman itu kapanpun aku inginkan asal aku menyentuhmu?'' Dengan terus tersenyum Hanna memeluk bonekanya.
"Tapi tunggu,'' Hanna yang tadinya terbaring di tempat tidurnya jadi terduduk dengan ide baru di kepalanya. "Aku juga mengatakan aku menciumnya karena hormon.'' Hanna tertawa dan kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.



Hanna memasuki kelasnya dengan ceria sampai Nayeon heran dengan tingkah Hanna, begitu juga Nana dan Rara.
"Lay, dimana Kris?'' Hanna bertanya saat Lay melewatinya bersama Jongin.
"Sepertinya bersama Sehun di belakang.'' Jawab Lay.
"Kenapa kau mencari Kris sepagi ini?'' Jongin menyipitkan mata memandang Hanna. "Dan kenapa dengan wajahmu yang begitu bersemangat.''
Tiba-tiba orang yang di cari muncul. Kris heran karena keenam temannya menatapnya, lebih heran lagi melihat tatapan Hanna yang sekarang menghampirinya.
"Selamat pagi,'' Hanna berkata, lalu dengan tiba-tiba mengecup pipi Kris.
"Ommo!" Nayeon tidak percaya dengan apa yang di lihatnya begitupun Nana dan Rara. Sedangkan Lay justru terkekeh melihat ekspresi kaget Kris, dan Jongin tersenyum.
"Itu karena hormon,'' Hanna mengedipkan sebelah matanya, dia kembali duduk ke kursinya.
"Apa yang di lakukannya padamu?'' Sehun yang ada di belakang Kris, menepuk punggung Kris pelan. Kris tidak menjawab, dia hanya mendengus dan berjalan ke kursinya.
Kegilaan Hanna tidak berhenti sampai di situ, Hanna kembali mengecup pipi Kris saat akan pergi ke kantin di waktu jam istirahat.
"Kau ikut aku!" Kris menarik Hanna yang sedang makan di kantin.
"Kemana?'' Hanna tidak bisa menolak saat tangan Kris begitu kuat menariknya.
"Apa yang akan di lakukan Kris? Haruskah kita mengikuti mereka?'' Nayeon berkata dengan cemas.
"Biarkan saja.'' Rara berkata. "Mereka harus menyelesaikan masalah mereka.''
"Benar, mereka harus berpacaran atau Hanna berhenti menyukai Kris. Ini sudah satu tahun tapi Kris tidak memberi kejelasan, tidak menerima juga tidak menolak Hanna.''
"Bukankah Kris sudah menolak Hanna.'' Jongin berkata.
"Tapi Kris terus menerima kebaikan Hanna.'' Rara berkata.
"Memangnya kenapa?''
"Sudahlah, biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka dan kalian jangan menimbulkan masalah baru.'' Sehun berkata.
Kris menghentikan langkahnya di belakang sekolah. Hanna cemberut karena di tarik dengan kasar oleh Kris. Hanna ingin memarahi Kris tapi nyalinya jadi ciut saat Kris berbalik menatapnya dengan wajah penuh kemarahan.
"Kenapa kau melakukan ini?! Bukankah aku sudah memberitahumu untuk tidak menyentuhku!''
"Itu karena...''
"Apa kau masih berpikir kalau aku menciummu karena aku menyukaimu? Apa aku perlu mengatakan lebih keras kalau aku menciummu hanya karena sentuhanmu?''
"Aku tidak peduli, karena aku menyukainya.'' Hanna tersenyum. "Jadi...kau bisa menciumku kalau aku menyentuhmu.'' Tangan Hanna terulur menyentuh pipi Kris. Dengan cepat Kris menepis tangan Hanna.
"Kau memang tidak bisa di diamkan.'' Kris mendorong tubuh Hanna kesamping saat akan pergi meninggalkan gadis itu, dan tanpa di duga Hanna terjatuh.
"Akh!" Hanna terpekik, dan Kris menoleh. Kris terkejut saat menyadari tangan Hanna berdarah. Hanna menangis.
"Aku akan membawamu ke klinik. Naiklah ke punggungku.'' Kris jongkok di depan Hanna. Hanna justru semakin terisak sehingga Kris berbalik menatapnya. "Kenapa kau tidak naik? Aku akan menggendongmu? Lukamu perlu di obati.''
"Tanganku yang terluka bukan kakiku! Kau tidak perlu baik padaku!" Air mata Hanna bertambah deras.
"Aku akan berlari menggendongmu jadi akan lebih cepat sampai ke klinik!"
"Pergi!" Hanna mendorong Kris untuk pergi. "Kalau kau memang tidak menyukaiku jangan berbuat apapun untukku! Pergi! Aku tidak butuh bantuanmu."
Hanna mencoba bangun sendiri dan ternyata duri mawar yang mengenai tangan Hanna juga mengenai kaki kanan Hanna. Kris yang menyadari itu langsung menarik Hanna ke punggungnya.
"Kau boleh marah tapi nanti setelah kau sampai di klinik sekolah.'' Kris berkata. Hanna menurut dan masih menangis.
Luka di kaki Hanna tidak parah hanya perlu di berianti septik dan perban, tapi luka di tangan Hanna tidak bisa di obati di klinik sekolah karena luka itu perlu mendapat jahitan. Hanna di bawa ke rumah sakit terdekat. Guru Jang menemani Hanna ke rumah sakit, Kris juga ikut. Guru Jang heran bagaimana bisa Hanna bisa tersayat duri mawar sampai sedalam itu, Hanna hanya menjelaskan kalau dia terpeleset dan tidak tahu jika dia menimpa tanaman mawar. Kris benar-benar merasa bersalah melihat bekas air mata Hanna di pipi gadis itu.
"Biarkan aku saja yang mengantarnya, bukankah Anda harus kembali mengajar.'' Kris berkata saat Guru Jang akan mengantar Hanna pulang.
"Apa karena kau ingin membolos?'' Guru Jang menggoda Kris.
"Kami berteman, jadi aku tahu rumahnya.''
"Baiklah, aku serahkan dia kepadamu.'' Guru Jang menepuk punggung Kris lalu membelai pipi Hanna. "Cepat sembuh ya.''
Hanna membungkuk saat Guru Jang pergi begitupun Kris.
"Aku bisa pulang sendiri.'' Hanna berkata saat Guru Jang sudah menghilang.
"Aku tahu tangan dan kakimu bwgitu sakit, kau terus menangis karenanya---''
"Bukan,'' Hanna memotong perkataan Kris. "Yang membuatku menangis adalah kau! Tidak peduli betapa menyakitkan luka di tangan ini tapi di campakan olehmu seperti itu lebih menyakitkan!"
"Aku akan menyetop taxi.'' Kris melambai pada Taxi yang lewat. "Ayo.'' Kris mencoba memapah Hanna menuju taxi yang berhenti di depan mereka.
"Lepaskan! Aku bilang, aku bisa pulang sendiri!'' Hanna menepis tangan Kris dan berjalan tertatih memasuki Taxi.

Hanna bersikeras untuk pulang sendiri, meskipun Kris memaksa tapi tetap Hanna tidak mau menerima kebaikan Kris lagi. Kris akhirnya menyerahkan Hanna kepada supir Taxi untuk membawanya dengan hati-hati.



"Jadi kau akan menyerah pada Kris?'' Nana bertanya setelah mendengar keseluruhan cerita Hanna tentang sebab dia terluka dan keinginannya untuk mengakhiri cinta sepihaknya, dia menjenguk Hanna di rumahnya bersama kedua temannya, Rara dan Nayeon.
"Aku pernah mendengarnya ribuan kali, tapi kau tetap kembali mengejarnya.'' Rara berkata.
"Kali ini aku yakin aku bisa, aku bersumpah.'' Hanna meyakinkan ketiga sahabatnya.
"Jangan pikirkan itu, sebaiknya kau khawatirkan lukamu.'' Nana berkata.
"Benar,'' Nayeon mengangguk. "Apa kau sudah meminum obatmu?''
"Eoh.'' Hanna mengangguk.
"Kris memang keterlaluan, mendorongmu sampai terjatuh.'' Rara mengepalkan tangannya.
"Dia pasti tidak sengaja,'' Nana mencoba menenangkan.
"Benar, Kris bukan pria yang suka main kekerasan.'' Nayeon membenarkan Nana.
"Malam ini kami akan menemanimu, kami akan tidur di sini.'' Rara berubah ceria.
"Benarkah?'' Hannapun ikut menjadi ceria. Keempat gadis itu melupakan luka Hanna dan justru mulai mencari film untuk mereka tonton, suasana sedih karena cerita Hanna tentang rencananya mengakhiri cinta sepihaknya menguap begitu saja dengan kebersamaan mereka.



"Apa selama ini aku memberikan harapan pada Hanna?'' Kris menemui Sehun yang sedang kerja paruh waktu di Cafe Coffe.
"Entahlah, kenapa?''
"Dia bilang agar aku berhenti berbuat baik padanya.''
"Mungkin karena kau selalu baik padanya itu membuatnya tidak bisa berpaling darimu.''
"Begitukah? Apa aku perlu menjauhinya''
"Tapi dia selalu bersama kita, dia juga teman bermain Biliar untukku di hari bebasku dari pekerjaan ini.''
"Lalu.''
"Tidak perli menjauh, kau cukup jangan melakukan apapun untuknya, seperti membuat dia merasakan keberadaanmu tidaklah penting.''
"Begitu...''
"Nikmatilah kopimu...ada pelanggan datang.'' Sehun berdiri untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Thanks,'' Kris tersenyum saat Sehun menepuk punggngnya.
Kris mengingat pertama kali berkenalan dengan Hanna, saat itu Hanna akan membayar makanannya di kantin tapi uang di kantongnya tidak ada sehingga Kris yang ada di sampingnya mengeluarkan uang untuk Hanna, saat itulah Hanna terpesona begitu Kris mengatakan mereka satu kelas. Kris mengingat apa saja yang sudah dilakukannya untuk Hanna berikutnya, dia membantu Hanna mencari cincin yang jatuh di lantai saat semua siswa sudah pulang. Kris ingat pernah menggendong Hanna yang terkilir saat lompa tinggi. Masih banyak hal yang muncul dalam ingatan Kris tentang apa yang dia lakukan untuk Hanna, dia sendiri tidak tahu kenapa selalu tergerak untuk seperti itu.
"Apa aku menyukainya?'' Kris bertanya pada dirinya sendiri. "Tidak. Dia cantik tapi kecantikannya hanya make up. Dia juga bodoh. Dia banyak bicara, sungguh tidak ada hal yang harus aku sukai darinya. Lagipula aku tidak ingin terlibat cinta apapun sampai aku pindah.''



Kris memasuki kelasnya yang sudah ramai, dia menatap Hanna yang sedang membaca sebuah majalah tapi dia tidak menyapa. Kris duduk ke mejanya. Hanna sebenarnya ingin melihat Kris tapi dia menahan dirinya dan terus menatap majalah di tangannya.
"Ya! Kris kau membuat tangan partnerku terluka, apa kau tidak akan meminta maaf.'' Jongin berkata saat melihat Hanna dan Kris tidak seperti biasanya.
"Oh. Lee Hanna, maaf.'' Kris berkata dengan dingin.
"Hanya itu?'' Jongin berdiri, Sehun langsung menariknya duduk kembali.
Nana dan Rara memandang Kris, menanti reaksi Kris, tapi Kris tidak menunjukan ekspresi apapun.
"Aku sudah bertanggung jawab pada lukanya, aku mengantarnya ke Rumah sakit, apa lagi?'' Kris berkata.
"Aighoo,''
"Sudahlah, aku baik-baik saja.'' Hanna angkat bicara. "Aku juga tidak ingin mendapatkan perhatian apapun dari Kris.''
"Oh, itu terlihat bukan seperti Hanna.'' Jongin berkata.
"Sudahlah.'' Sehun memukul dada Jongin agar tidak ikut campur.
Kris pura-pura membaca buku tapi sesekali dia melirik Hanna. Hanna mencoba untuk menekan keinginannya untuk berbalik menatap Kris seperti biasa.



Pandangan Hanna terpaku pada seorang murid perempuan yang sedang memberikan sekotak coklat pada Kris di tangga sekolah saat pulang sekolah. Kris hanya menerimanya tanpa ekspresi apapun, sedangkan gadis itu pergi dengan tersipu. Hanna memang cemburu tapi dia tidak mau menunjukannya, tapi matanya melotot saat Kris menghampiri tempat sampah di ujung tangga.
"Tunggu!" Hanna berlari menuruni tangga, dia berhenti di depan Kris. Kris hanya menyerngitkan dahi menatap kemunculan Hanna tiba-tiba. "Kau tidak boleh membuangnya! Gadis itu memberimu penuh ketulusan.''
"Aku tidak suka coklat,''
"Lalu apa kau harus membuangnya! Kau bisa menyimpannya!"
"Apa aku harus membiarkannya membusuk di kamarku, dan jadi sampah di sana.''
"Kau memang tidak punya perasaan.''
"Aku memang seperti itu.'' Kris tersenyum sinis.
"Kau harusnya bisa menghormati pemberian orang, dia mungkin saja menggunakan semua uang jajannya hanya untuk membeli coklat mahal ini.''
"Untukmu.'' Kris melempar kotak coklatnya kepada Hanna.
"Heh?'' Hanna menangkap kotak coklat itu dengan terkejut.
"Kau bisa mengambilnya kalau kau mau menganggap itu terlalu berharga untuk masuk ketempat sampah. Bukankah kau penggila coklat.'' Kris berkata dan pergi.
"Hoh!" Hanna mendengus kesal. "Dia tercipta untuk membut gadis-gadis patah hati.''
Hanna memandangi kotak coklat di tangannya. Diapun tersenyum dan memasukan coklat itu kedalam tasnya, dia memang sangat menyukai coklat, jadi tidak mungkin dia akan membuang makanan yang jadi favoritnya. Hanna kembali menuruni tangga, langkah Hanna terhenti di lantai 1, dia melihat gadis yang tadi memberikan coklat kepada Kris, satu ide muncul di kepalanya.
"Ya! Kau!" Hanna berteriak memanggil gadis itu.
Gadis berambut sebahu itu menoleh bersamaan dengan dua temannya. Ketiga gadis itu saling berpandangan dan kembali menoleh pada Hanna yang menghampiri mereka. Hanna memasang wajah seangkuh mungkin.
"Kau! Gadis yang berani mengganggu Kris-ku!" Hanna mengacungkan telunjuknya pada gadis yang tadi di lihatnya, gadis itu terlihat takut, apalagi Hanna semakin mendekat sampai di depannya. Tangan Hanna meraih name tag di seragam gadis itu. "Hah, Nam Yoori. Kau dari kelas mana? Apa kau tidak tahu kalau Kris itu milikku?''
"Ya! Sunbae, kami tahu kau satu kelas dengan Kris sunbae, tapi tidak ada yang mengatakan kau pacarnya.'' Salah satu teman Yoori berkata.
"Ho! Kau berank padaku!" Hanna mendorong bahu teman Yoori.
"Kau kira aku tidak berani,'' Teman Yoori menyingkirkan tangan Hanna.
"Aish, gadis ini!" Hanna sudah akan kembali melayangkan tangannya tapi sebuah suara menghentikannya.
"Ya! Lee Hanna.'' Kris memanggil.
"Kris.'' Hanna panik.
"Apa yang kau lakukan dengan mereka?'' Kris berjalan menghampiri mereka.
"Bukankah kau sudah pergi?'' Hanna menjadi gugup.
"Aku baru dari perpustakaan menemui Lay, apa yang kau lakukan dengan mereka?''
"Oppa, dia memarahiku karena memberimu coklat.'' Yoori berkata dengan manja.
"Aish,'' Hanna menatap tajam Yoori, tapi gadis itu tidak takut seperti tadi karena sekarang ada Kris.
"Dia juga bilang kalau kau miliknya,'' Yoori dengan sedikit takut berkata.
"Aighoo.'' Hanna berkacak pinggang. "Kalian berani bicara hanya karena ada Kris, apa kau kira Kris akan membela kalian, apa kau kira Kris menerima coklatmu, tidak.'' Hanna membuka tasnya, dia mengeluarkan kotak coklat milik Yoori.
"Kenapa itu ada padamu?'' Yoori terlihat sedih.
"Kris memberikan padaku, kenapa? Kau kecewa? Ambil.'' Hanna melempar dengan kasar kotak coklat itu kepada Yoori.
"Apa kau perlu melakukan hal seperti itu?'' Kris berkata pada Hanna.
"Kenapa? Apa kau tidak suka gadis ini terluka? Itu lebih baik daripada kau membiarkannya terus menganggapmu bisa membalas cintanya.'' Hanna melangkah pergi.
"Oppa,'' Yoori memegang coklatnya dengan sedih.
"Kau bisa memakan itu untukmu sendiri.'' Kris juga pergi meninggalkan ketiga gadis itu.



Hanna mengikuti Sehun yang keluar saat bel istirahat berbunyi. Hanna ingin tahu apakah pria itu menemui Kris yang sudah keluar beberapa menit yang lalu. Dia harus melihatnya sendiri kalau keduanya Gay. Hanna terus mengikuti Sehun naik ke atap sekolah. Tapi saat dia sampai di atap sekolah Sehun hanya sendiri.
"Kenapa kau mengikutiku?'' Sehun yang duduk di lantai atap sekolah dengan bersandar pada dinding di sebelah pintu.
"Dimana Kris?'' Hanna tidak menjawab, dia justru mengabaikan kalau dia sudah tertangkap menguntit.
"Kalau tidak ada di sini berarti dia bersama yang lain.''
"Lalu kenapa kau di sini sendirian.''
"Untuk ini,'' Sehun mengeluarkan sebatang rokok dari kotak rokok dan menyulunya.
"Jadi kalian kemari untuk merokok?'' Hanna duduk di sebelah Sehun.
"Lalu apa yang kau pikirkan?''
"Tidak ada?'' Hanna tersenyum, dia senang prasangkanya salah. "Kris juga kemari untuk merokok?''
"Kenapa? Kau tidak suka?''
"Bukan begitu,'' Hanna menggeleng. "Tapi kenapa harus di sini.''
"Tidak ada guru kemari.''
Tiba-tiba pintu terbuka, Sehun buru-buru menarik Hanna untuk sembunyi, tapi Sehun kembali lega saat mengetahui yang datang adalah Kris. Kris terkejut melihat Hanna dan Sehun yang muncul dari balik tembok dengan berpegangan tangan.
"Apa yang kalian lakukan di sini?'' Kris bertanya, pandangannya tertuju pada kedua tangan sahabatnya, baik Hanna ataupun Sehun langsung melepaskan tangan mereka satu sama lain.
"Sebaiknya aku pergi.'' Hanna tersenyum pada Sehun dan melewati Kris tanpa berkata apapun.
"Apa kalian berkencan?'' Kris bertanya pada Sehun begitu Hanna pergi.
"Apa kau cemburu?''
"Tidak.''
Meskipun Kris mengatakan tidak cemburu tapi pikirannya terus memikirkan tangan Sehun dan Hanna yang berpegangan. Apakah Hanna sudah berpaling? Kris terus bertanya dalam hati, bahkan sampai pelajaran kembali di mulai, pikiran Kris masih di penuhi genggaman tangan Sehun pada tangan Hanna.



Gadis bernama Yoori ternyata tidak jera untuk mendekati Kris, bahkan gadis ini berani menghampiri Kris saat kelas 2.6 olah raga di lapangan bola. Yoori memberikan sebotol air mineral. Hanna yang melihat Kris menerima pemberian Yoori dengan tersenyum tentu saja kesal, tanpa di sadarinya dia melangkah mendekati Kris dan merebut botol itu dari tangan Kris lalu membantingnya. Seluruh anak sekelas mereka menatap kejadian itu.
"Hanna, apa yang kau lakukan?'' Kris berkata.
"Kalau kau menerima seorang gadis harusnya kau mencari yang lebih cantik dariku!" Hanna berteriak marah, dia lalu memandang Yoori. "Dan Kau! Kenapa kau mengganggu pelajaran kelas lain! Kau bukan anak kelas 2.6! Kenapa kau kemari!"
"Hanna,'' Kris mencoba menenangkan Hanna.
Nana langsung berlari menarik Hanna, begitupun Rara dan Nayeon. Ketiganya menarik Hanna pergi dari lapangan. Hanna akhirnya di bawa ke klinik sekolah.
"Kau pergilah, dan jangan mendekatiku lagi.'' Kris berkata pada Yoori.
"Oppa,''
"Aku tidak ingin menyakiti Hanna.''
"Oppa,'' Yoori berkaca-kaca, dia berlari pergi dengan menahan air matanya.
"Apa yang terjadi.'' Guru Kang muncul. "Kenapa kalian belum memulai permainan.'' perkataan Guru Kang membuat murid-murid kembali ke posisinya.
"Bukankah Hanna terus menyukaimu meskipun dia mengatakan akan berhenti menyukaimu,'' Lay merangkul Kris.
"Dia harusnya menyukaiku saja.'' Jongin bergumam.
"Bukankah kau bilang menyukai Rara!" Sehun memukul kepala Jongin.
"Aku tersenyuh dengan keteguhan Hanna.'' Jongin berpura-pura menangis.
"Kau tidak dekat dengan gadis manapun lalu kenapa kau menolak Hanna?'' Sehun bertanya.
"Karena pada akhirnya kami akan berpisah. Dia terlalu baik jika harus aku tinggalkan.'' Kris berkata.
"Memangnya kau mau kemana?'' Lay menatap Kris.
"Akhir semester nanti, aku harus kembali ke Canada.'' Kris tersenyum getir.





"Ya! Kris! Lay! kenapa kalian masih belum bermain!" Guru Kang berteriak melihat keempat muridnya masih di luar garis lapangan. "Sehun! Jongin! Apa yangn kalian lakukan.''
Kris bersama yang lain kembali bergabung dalam permainan sepak bola. Guru Kang tidak menyadari kalau dari murid-murid perempuannya yang duduk di tepi lapangan kurang empat orang. Kris menatap koridor menuju klinik, dia berharap Hanna baik-baik saja.



"Kau bilang akan mengakhiri cinta sebelah tanganmu! Lalu apa yang kau lakukan tadi!" Rara berkacak pinggang di depan Hanna.
"Aku tidak tahan melihat kelakuan Yoori.'' Hanna menjawab dengan kesal.
"Ho! Kau bahkan tahu nama gadis itu.'' Nana berkata.
"Aku pernah bertemu dengannya sebelumnya, saat dia memberikan coklat untuk Kris.''
"Aighoo. Apa ini yang di sebut mengakhiri cintamu! Kau terus memata-matainya!" Rara memukul kepala Hanna. Hanna hanya cemberut. "Bahkan kau sudah mempermalukan dirimu sendiri!"
"Sudahlah. Kenapa kau jadi memarahi Hanna.'' Nana menenangkan Rara.
"Seluruh anak satu kelas kita melihatmu begitu kasarnya melampiaskan cemburu, apa kau tidak memikirkannya. Kau akan di sebut gadia yang sangat terobsesi pada Kris.''
"Ah, aku tidak peduli. Aku tarik kalimatku untuk menjauh dari Kris, aku tidak bisa membiarkan siapapun mendektinya.'' Hanna berdiri dari tempat tidur klinik.
"Aku sudah menduga ini akan terjadi,'' Nayeon tersenyum.



Pelajaran olah raga sudah selesai, semua siswa kelas 2.6 kembali ke kelasnya setelh berganti seragam. Hanna dan ketiga temannya juga berjalan kembali ke kelasnya. Saat mereka berada di koridor depan kelas mereka, di sana ada Kris bersama Sehun di depan pintu masuk. Hanna mengirim pesan pada Kris. Kris merasakan ponselnya bergetar, dia memeriksanya dan membaca pesan dari Hanna.

From : Hanna
Aku selalu bisa melihatmu lebih dulu

Kris mencari keberadaan Hanna, dia melihat ke sekeliling dan menemukan Hanna tengah berdiri di ujung koridor. Hanna berdiri sendirian di tinggalkan ketiga temannya yang sekarang sudah melewati Kris. Satu pesan kembali masuk ke dalam ponsel Kris, dari Hanna.

From : Hanna
Aku tidak memintamu datang padaku, tapi aku yang akan datang padamu

Kris menatap Hanna setelah selesai membaca pesan itu. Hanna tersenyum dari kejauhan. Hanna melangkah ke arah Kris dengan tidak melepaskan tatapan matanya dari mata Kris. Langkah Hanna terhenti tiba-tiba, mereka hanya berjarak tidak lebih dari dua meter.
"Aku akan mendekatimu seperti ini,'' Hanna berjalan pelan, kemudian berhenti, berjalan lagi, dan behenti lagi sampai kemudian dia berhenti tepat di hadapan Kris. "Aku akan terus mendekatimu meskipun kau menghentikanku, terus, terus, terus sampai aku menempel padamu.'' Hanna berdiri begitu dekat dengan Kris, hingga Hanna memeluk Kris dengan tiba-tiba. "Dan akhirnya kau tidak lepas dariku.''
Kris masih terdiam dengan apa yang dilakukan Hanna, bahkan saat kepala Hanna berada di dadanya. Sehun hanya tersenyum menyaksikan sahabatnya mematung dengan pelukan Hanna. Suara sorakan dari dalam kelas membuat Kris teradar dan mendorong Hanna untuk menjauh dari tubuhnya. Hanna hanya tersenyum dengan kehebohan kelas.
"Aku harap kau menjaganya dengan baik.'' Teriak Minki, sang ketua kelas.
"Sebarkan undangan kalau pernikahan kalian terjadi.'' Terdengar teriakan Gidoek yang di sambut kegaduhan teman-teman yang lain.
Kris tidak peduli dengan semua kiributan itu, dia memasuki kelasnya dan duduk di mejanya. Lay tersenyum, dia memukul pelan dada Kris yang membuat pria itu langsung melotot.
"Ya! Hentikan! Atau aku membunuh kalian!" Kris berteriak saat keributan itu tidak juga berhenti. Sesaat kemudian semuanya diam tapi mereka masih berbisik-bisik tentang Hanna dan Kris.
"Pertunjukan yang bagus.'' Sehun menepuk punggung Hanna, dia melewati Hanna untuk masuk ke dalam kelas.
Hanna tersenyum dan berteriak. "Teman-teman, bantu aku mendapatkan Kris. Eoh!"
"Figthing!" Hampir seluruh teman sekelas Hanna berteriak.
"Aish, gadis ini.'' Kris menatap kesal ke arah Hanna. Lay justru tertawa. Sedangkan Sehun tersenyum, dan Jongin ikut berteriak bersama yang lain.
"Oh...dia benar-benar memalukan.'' Rara menutup wajahnya.
"Hanna! Aku mendukungmu!" Teriak Nana.
"Aku juga mendukungmu!'' Nayeon ikut berteriak.
"Aighoo...'' Rara menjatuhkan kepalanya di atas meja, menyembunyikannya di antara dua tangannya.
"Kenapa begitu ribut!" Tiba-tiba datang Guru Park. Dia memandang Hanna yang berdiri di depan papan tulis. "Apa yang kau lakukan?''
"Dia baru saja menyatakan cinta pada Kris.'' Teriak Gideok.
"Lebih tepatnya lamaran cinta yang ke seribu kali!" Jongin ikut berteriak membuat Kris semakin kesal.
"Jadi keributan ini karena kau.'' Guru Park menatap Hanna lebih tajam. "Kalau begitu, kau berdiri di koridor sampai pelajaranku selesai."
"Tapi, Saem.'' Hanna cemberut.
"Nilaimu selalu buruk dalam pelajaran Bahasa inggris tapi kau membuat keributan juga di kelas jadi itu hukuman untukmu.''
"Baik.'' Hanna berjalan keluar kelas dengan lesu.
"Siapa yang masih ingin membuat lelucon, aku akan mengeluarkannya juga.'' Guru Park menatap semua seisi kelas yang menjadi serius kembali.



"Guru Park, maaf kami mengganggu.'' Guru Jang muncul saat Guru Park tengah menjelaskan di depan kelas. "Aku akan membawa Kris ke kantor.''
"Oh, silahkan.''
"Kris.'' Guru Jang memanggil Kris.
Kris langsung berdiri, dia memberi hormat pada Guru Park sebelum pergi. Hanna penasaran dengan perginya Kris, tapi dia hanya mampu memandangi punggung pria itu.
Hanna masih melamun memikirkan kenapa Guru Jang membawa Kris, sampai kemudian dia terkejut dengan Kris yang berjalan dari ujung koridor. Hanna melihat tatapan mata Kris yang lembut, berbeda dari biasanya. Harusnya Hanna senang dengan tatapan itu tapi itu membuatnya mendapat firasat akan ada hal buruk yang terjadi. Kris tersenyum, dan itu membuat Hanna justru semakin merasakan sesuatu yang salah terjadi. Kenapa Kris begitu tiba-tiba berubah? Hanna meraskan kekhawatiran.
"Jaga dirimu,'' Kris berdiri di samping Hanna, menyentuh kepala Hanna, dan pergi masuk kekelasnya. Hanna merasakan dadanya sesak.
Hanna menatap ke dalam kelas lewat kaca jendela. Dia bisa melihat Kris memberi salam pada Guru Park, kemudian mengambil tasnya, berkata sesuatu kepada Lay dan kembali memberi salam untuk berpamitan pulang. Dia kelar kelas, kembali berpapasan dengan Hanna.
"Sampai jumpa,'' Kris tersenyum dan pergi.
Hanna masih belum tahu apa yang terjadi tapi perasaannya sudah berkata kalau ada sesuatu yang buruk. Dia ingin mengejar Kris tapi itu akan membuatnya mendapat hukuman baru. Dia memandang ke dalam kelas yang kembali melanjutkan pelajaran, tapi pandangannya menemukan wajah sedih dari Lay, Sehun dan Jongin.
Hal pertama yang di lakukan Hanna saat hukumannya selesai adalah berlari menghampiri Lay. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada Kris.
"Kenapa Kris pulang lebih awal?'' Hanna memegang tangan Lay.
"Ibunya dari Canada datang.'' Lay berkata.
"Mungkin untuk menjemputnya.''
"Menjemputnya?'' Hanna bingung.
"Kris akan kembali ke Canada.''
Hanna shock, tanpa terasa dia menjatuhkan tangan Lay dari genggaman tangannya. Hanna tahu ada hal seperti ini yang akan terjadi, kabar buruk.
"Karena itulah dia tidak ingin berpacran denganmu, dia tahu kalau suatu hari nanti akan pindah ke Canada lagi.'' Sehun berkta.
"Nanti malam kami akan bertemu di tempat biliar, kau bisa ikut.'' Kata Jongin.
"Dia tidak menginginkanku, untuk apa aku datang. Kalau dia akan pergi, pergi saja! Aku tidak peduli.''



Lain di bibir, lain pula di hati, walaupun Hanna mengatakan tidak peduli dengan kepergian Kris tapi malam ini Hanna menangis dikamarnya, dia di temani ketiga temannya. Nana, Rara dan Nayeon bermalam di rumah Hanna, mereka tahu kalau sahabatnya begitu kehilangan Kris.

Hari pertama tanpa Kris di dalam kelas.

"Apa arti kalimat ini, Kris.'' Hanna berbalik ke meja di belakangnya dengan menunjukan sebaris kalimat bahasa inggris di majalahnya. Semua menatap Hanna. Hannapun tersadar kalau sudah tidak ada Kris. "Maaf, itu kebiasaanku.'' Dengan lesu Hanna kembali berbalik.
Lay ingin mengatakan sesuatu tapi Sehun meraih bahunya, memberi tanda untuk diam. Lay akhirnya hanya bisa menghela nafas, merasa kasihan pada Hanna.

Hari kedua kepergian Kris...

"Aku tidak mau bermain biliar!" Hanna berkata dengan ketus saat Sehun mengajaknya pergi ke tempat Biliar bersama yang lain. "Aku tidak akan ke tempat di mana aku pernah pergi bersama Kris!"
"Tapi kau ke sekolah.'' Jongin mencoba bergurau.
"Diam kau!" Hanna berlalu pergi.
"Hanna tunggu.'' Nayeon berlari mengejar Hanna.
"Ya! Lee Hanna!" Nana juga ikut mengejar Hanna.
"Kau tidak ikut mengejarnya?'' Jongin mendorong Rara.
"Aish.'' Rarapun ikut mengejar Hanna.
"Apa sebaiknya kita memberitahunya.'' Lay berkata.
"Kris bilang jangan mengatakan apapun.'' Sehun berkata.
"Aku kira dia akan menangis sepanjang hari tapi lihatlah, dia bahkan sekarang menjadi lebih galak dari anjingku tiap kita menyinggung hal tentang Kris.'' Jongin berkata dengan tersenyum geli.

Hari ketiga tanpa Kris...

"Aku pergi dulu,'' Hanna melambaikan tangannya pada ke enam sahabatnya, dia berlari keluar kelas.
"Kenapa dia pulang terburu-buru?'' Lay bertanya kepada Nayeon.
"Dia bilang akan membeli anjing yang dilihatnya kemarin, dia bilang, anjing itu mirip Kris.'' Nayeon berkata.
"Apa kita perlu membawanya ke psikiater?'' Rara menatap teman-temannya.
"Kris perlu tahu jika dia disamakan dengan anjing.'' Jongin terkekeh.

Hari keempat tanpa Kris...

Hanna banyak diam di dalam kelas. Bahkan dia tidak berteriak saat Jongin menarik rambutnya yang terkucir rapi, padahal biasanya dia akan marah jika tatanan rambutnya diusik. Hanna juga tidak bersemangat saat Lay mentraktirnya Ice cream.
"Apa kau tidak enak badan?'' Sehun bertanya saat Hanna memakan Ice cramnya dengan lesu.
"Aku merindukan Kris,'' Hanna berkata dengan sedih, meskipun dia tidak menangis tapi semua temannya tidak lagi bersemangat memakan Ice Cream mereka.

Hari kelima tanpa Kris...

Hanna menolak ajakan Nana untuk pergi ke pantai karena hari minggu ini cerah, tapi Hanna justru mengajak pergi ke kedai ramen di dekat tempat Biliar Kris, tempat biasa mereka makan bersama.
"Apa kau hanya akan memesan tanpa memakannya?'' Rara bertanya saat melihat Hanna hanya memandangi ramen di mangkuknya. Dan Rara lebih terkejut saat Hanna meneteskan air mata.
"Ya! Lee Hanna, kenapa kau menangis.'' Nana panik begitu juga Rara dan Nayeon.
"Aku kira aku bisa melupakan Kris karena tidak melihatnya tapi aku malah semakin merindukannya.''
"Kita bisa menghubunginya.'' Rara yang tidak ingin melihat Hanna bertambah sedih menghubungi Jongin.
"Ada apa?'' Suara Jongin terdengar di telepon.
"Berikan padaku nomor Kris di Canada.''
"Untuk apa?''
"Berikan sekarang atau kau mati.''
"Aigho.''
"Berikan cepat!"
"Apa terjadi sesuatu pada Hanna?''
"Berikan saja nomor Kris, sekarang.''
"Baiklah, aku akan mengirimkan lewat pesan.''
Setelah Rara mengakhiri panggilannya, sebuah pesan masuk berbunyi dan nomor Kris tertulis di sana.
"Cha! Bicara padanya.'' Rara mengulurkan ponselnya pada Hanna. "Obati kerinduanmu.''
Hanna menatap Rara. Rara tersenyum dan mengangguk untuk meyakinkan Hanna. Perlahan Hanna menerima ponsel itu, dia memandangi nomor itu dan dengan ragu mendialnya.
"Hallo.'' Terdengar suara pria dari seberang telepon.
"Kris,'' Hanna menahan air matanya.
"Hanna? Kenapa kau menelepon. Apa kau tahu tarif luar negri begitu mahal.''
"Aku merindukanmu.''
"Aku tahu, jadi bersabarlah. Tutup teleponnya sekarang. Dan lihatlah pesan emalku untukmu.''
Hanna mematung saat panggilan itu terputus. Rara dan Nana saling pandang. Nayeon menepuk pipi Hanna agar tersadar dari lamunannya.
"Apa yang dia katakan?'' Rara bertanya.
"Katanya menelepon ke luar negri mahal.''
"Apa lagi?''
"Dia tahu aku merindukannya.''
"Lalu?''
"Dia menyuruhku bersabar.'' Hanna berdiri. "Dan menyuruhku membuka email!" Tanpa aba-aba Hanna berlari.
"Ya! Lee Hanna!" Rara terkejut dengan kepergian Hanna tiba-tiba. "Ponselku!" Secepatnya Rara mengejar.
"Aish!" Nana juga langsung mengejar kedua sahabatnya.
"Lalu, apa artinya aku yang membayar semua ramen ini? Aish...bahkan kalian tidak memakannya sama sekali.'' Nayeon menggerutu. Dia membayar semua ramen dan berlari menyusul sabatnya.



Hanna membuka email yang masuk.

From : Kris
To : Hanna
Subject : miss u!

Aku sedang terbang kembali padamu

Lalu Hanna menerima beberpa gambar juga. Foto-foto Kris bersama ibu dan adiknya. Ada foto beberapa asessories di sebuah kios.

"Apa itu artinya dia sedang terbang ke korea?'' Nana bertanya dari balik punggung Hanna, dia ikut melihat semua email dari Kris.
"Begitukah?'' Hanna berbinar.
"Apa berarti dia menerima cintamu? Karena dia mengirim emal padamu?'' Nana kembali bertanya. Hanna bertambah ceria.
"Kenapa dia mengirim email kalau dia bisa menelepon atau sms?'' Nayeon berkata.
"Mungkin agar terlihat lebih berkesan.'' Nana berkata.
"Kenapa dia tidak mengatakan pada kita kalau dia akan kembali.'' Rara berkata dengan kesal. "Bukankah dia sedang mempermainkanmu.''
"Benar.'' Nayeon mengangguk.
"Apa mungkin karena aku tidak datang di malam itu,''
"Ah, benar...'' Nayeon mengangguk lagi.
"Apa itu berarti ketiga pria brengsek itu tahu.'' Rara mengingat Jongin dan yang lain.
"Aish. Mereka!" Hanna meremas bantal yang di pegangnya.



"Kalian bohongkan kalau Kris akan pindah ke Canada! Dia sedang terbang kemari!" Hanna berdiri di antara meja Lay dan Sehun.
"Awalnya Kris mengatkan akan pindah, tapi malam itu dia mengatakan ibunya memberinya hak untuk tinggal atau ikut bersamanya jadi Kris memutuskan untuk ikut bersama ibunya tapi hanya untuk beberpa waktu, dan dia akan tinggal di sini bersama ayahnya.'' Lay menjelaskan.
"Kenapa kalian tidak mengatakan padaku.''
"Kris yang meminta.'' Sehun tersenyum.
"Aish!" Hanna menendang kaki Sehun yanh berada di luar meja. "Apa harus aku tanyakan pada ayahnya, kapan dia sampai.''
"Aighoo, lihatlah betapa semangatnya dirimu sekarang? Ayahnya tidak suka di ganggu. Jadi jangan datang hanya untuk bertanya hal bodoh.'' Jongin mencibir.

Hanna melihat pesan masuk ei e-mailnya lewat ponselnya, tapi tidak ada pesan dari Kris lagi. Ini sudah hari kedua setelah Kris mengirimkan e-mail waktu itu. Hanna mencoba menghubungi nomor Kris di Canada tapi tidak ada yang mengangkatnya.
"Apa Kris tidak menghubungi kalian?'' Hanna bertanya pada lay. "Dia tidak pernah mengangkat panggilanku.''
"Kapan kau menelepon?'' Lay bertanya.
"Semalam. Aku menelepon berkali-kali tapi dia tidak mengangkat.''
"Apa kau tahu perbedaan waktu Seoul dan Vancouver?''
"Memangnya berapa?''
"Sekitar 17 jam.''
"Hah?''
"Kalau kau menelepon jam 7 malam berarti di sana sekitar jam 1 pagi. Begitu.''
"Aku menelepon sekitar jam 8, berarti itu jam 2 pagi? Oh...aku tidak tahu.'' Hanna nyengir.
"Dia pasti pulang kemari, dia bilang hanya ingin mengunjungi keluarganya.''
"Padahal dia sudah mengatakan kalau dia sedang terbang kemari,'' Hanna mendengus kesal.
"Kenapa kau begitu menyukai Kris?''
"Itu datang begitu saja, dan aku merasa sekarang Kris mulai memikirkanku. Dia menulis 'muss u' di dalam pesannya.''
"Baguslah,'' Lay membelai kepala Hanna.
"Apa yang kalian lakukan?'' Nayeon bertanya, dia berjalan dari pintu masuk ke dalam kelas menghampiri dua sahabatnya.
"Kami hanya bicara tentang Kris.'' Hanna berkata.
"Tapi kalian hanya berduaan di kelas saat jam istirahat seperti ini menggangguku.'' Nayeon cemberut.
"Kau cemburu? Aish, apa kau menyukai Lay?''
"Heh?'' Wajah Nayeon berubah merah.
"Lihatlah, wajahmu merona. Jadi kau benar menyukai Lay.'' Hanna memandang Lay yang sedang tersenyum. "Apa kau juga menyukainya?''
"Kami sudah jadi sepasang kekasih.'' Lay menunjukan cincin di jarinya dengan tersenyum.
"Aih, kalian bicara apa?''
"Ini couple ring yang kami beli seminggu lalu di Hongdae.'' Lay berkata.
"Kalian tidak bercanda?'' Hanna memandang Lay dan Nayeon bergantian. Nayeon tersipu sedangkan Lay hanya tersenyum. "Aigho, bahkan aku tidak menyadari kalau kalian bisa saling menyukai.'' Senyum Hanna mengembang.
"Aku yakin Kris juga akan menerimamu.'' Lay berkata.
"Lalu, apa yang lain tahu kalian berkencan?''
"Nayeon ingin merahasiakannya.'' Lay memandang Nayeon.
"Kenapa?'' Hanna ikut memndang Nayeon.
"Kau terus bersedih karena Kris, aku tidak mungkin membuatmu bertambah sedih kalau tahu aku berkencan dengan Lay.''
"Aighoo. Apa kau berpikir aku akan iri padamu?'' Hanna berdiri, dia merangkul Nayeon.



Sepulang sekolah, Hanna dan ke enam temannya berada di kedai ramen langganan mereka untuk merayakan Lay yang berpacaran dengan Nayeon. Jongin menggunakan kesempatan ini untuk merayu Rara agar berpacaran dengannya tapi tetap saja Rara masih tidak menerima Jongin, karena dia sudah punya pacar. Rara memang mempunyai pacar dari sekolah lain, bahkan itu ada SMU bergengsi di Seoul. Menurut Jongin, pacar Rara pasti pria yang tidak punya ketulusan hati karena tidak pernah mau ikut berkumpul dengan mereka.
"Lalu, apa kau dan aku harus berkencan?'' Sehun bertanya kepada Nana yang ada di sampingnya.
"Aish!" Nana memukul kepala Sehun.
"Ya!" Sehun melotot.
"Jangan bicara omong kosong!"
"Tapi kita selalu bersama.'' Sehun mengatakan dengan santai. Nana hanya mencibir.



"Ya! Bodoh!" Suara seorang pria menghentikan langka Hanna. Dadanya bergemuruh, dengan cepat dia berbalik untuk memastikan pemilik suara itu adalah pria yang di tunggu olehnya. Tanpa terasa senyumnya mengembang begitu melihat pria itu benar-benar Kris. "Aku dengar kau punya seekor anjing yang mirip denganku.'' Kris melangkah dengan santainya, menghampiri Hanna yang berdiri mematung. Tangan Kris berada di kantong celananya, tidak ada ekspresi yang berubah meskipun mereka sudah berpisah begitu lama. Kris mengibaskan tangannya di depan wajah Hanna yang terus diam memandangnya. Hanna tetap saja diam tanpa melepaskan tatapannya dari Kris.
"Apa kau jadi bisu sekarang?'' Kris menyentuh hidung Hanna dengan telunjuknya, membuat Hanna tambah tersenyum semakin lebar.
"Aku merindukanmu!'' Hanna berteriak dan memeluk Kris tiba-tiba.
Kris terkejut dengan tangan Hanna yang melingkar di pingganya dengan erat. Kris tersenyum meskipun singkat. "Kau harus melepaskan aku,'' Kris melepaskan tangan Hanna.
"Tidak bolehkah aku memelukmu setelah berhari-hari kita tidak bertemu!" Hanna merajuk. "Apa kau tidak tahu kalau aku sudah hampir gila tiap melihat bangkumu kosong! Kenapa kau tidak mengatakan apapun dan hanya pergi! Apa kau tahu aku menjalani hari-hariku hanya dengan bersedih.''
"Benarkah?'' Kris tersenyum geli. "Kau menjalani harimu dengan terus bersedih tapi kau bermain di luar rumah sampai tengah malam seperti sekarang?''
"Aku pergi ke rumah Nayeon.''
"Cha!" Kris mengeluarkan sesuatu dari kantong jacketnya. Sepasang jepit rambut dengan hiasan mutiara putih, jepit rambut yang ada di gambar kiriman Kris tempo hari.
"Whoa...cantik.'' Hanna menepuk tangannya keras. Matanya berbinar.
"Aku banyak mengingatmu saat berkeliling bersama adikku di sana jadi aku membelikan sepasang untukmu.''
"Kau memikirkanku,'' Hanna meraih tangan Kris.
"Terimalah,'' Kris menghindari pertanyaan Hanna, dan juga menghindari untuk bertatapan dengan Hanna, entah kenapa dia jadi gugup.
"Apa hatimu mulai bertunas untukku?'' Hanna semakin mendekat untuk bertatapan dengan Kris.
"Apa kau tidak akan menerima pemberianku?'' Nada suara Kris berubah galak lagi.
"Eoh.'' Hanna menerima jepit rambut itu. "Tapi...kau belum menjawabku. Tentang hatimu, apa itu sudah bertunas?''
"Apa hatiku tanaman?''
"Kau lelaki aneh!" Hanna mencibir.
"Apa?''
"Pertama, kau mencimku tanpa menyukaiku, kedua, kau memikirkanku juga tanpa menyukaiku, jadi apa kau juga membelika Nayeon, Nana dan Rara jepit rambut?''
"Ehm.'' Kris mencoba menguasai kegugupannya.
"Kau cukup mengatakan, 'Hanna aku menyukaimu' Apa kau tidak bisa? Apa kau menganggap itu melukai harga dirimu.'' Hanna berkacak pinggang.
"Saranghae,'' Kris tiba-tiba berkata pelan.
"Apa?'' Hanna pura-pura tidak mendengar perkataan Kris, tapi dia tersenyum, wajahnya bersemu merah.
"Aku ingin sekali tidak jatuh cinta pada gadis bodoh sepertimu tapi kau terus menggangguku.''
"Aku bukan gadis bodoh,''
"Kau bodoh karena terus sibuk bersolek padahal kau cantik tanpa make up! Kau bodoh karena sibuk membaca majalah fashion daripada buku pelajaran! Kau juga bodoh karena menganggap matahari membuat kulitmu jelek.'' Kris menggunakan telunjuknya untuk mendorong dahi Hanna berkali-kali. "Dan kau gadis terbodoh yang terus mengikutiku.'' Di akhir kalimatnya Kris tersenyum.
"Itu bukan karena aku bodoh, tapi karena aku menyukaimu begitu besar. Besar sekali.'' Hanna membentangkan tangannya, senyumnya begitu penuh kebahagiaan.
Kris memegang pipi Hanna dan mencium bibir gadis itu. Hanna kaget tapi kemudian membalas ciuman itu tanpa peduli jika mereka berada di jalan depan rumahnya.



Seluruh kelas menyapa Kris di hari pertamanya kembali masuk. Mereka mengeluh karena Kris tidak membawa oleh-oleh untuk mereka. Hanna tersenyum saat Kris melewati mejanya. Kris masih dengan ekspresi lamanya yang tidak peduli dengan Hanna.
"Ya! Apa kau akan mengabaikanku lagi!" Hanna setengah berteriak saat Kris duduk di samping Lay.
"Kenapa?'' Kris bertanya dengan santai.
"Mereka harus tahu kalau kita berkencan mulai sekarang.''
"Mereka tahu.'' Kris menjawab dengan masih bersikap santai seperti biasa.
"Kami bertemu Kris sebelum menemuimu.'' Lay tersenyum.
"Dia bilang logikanya hilang karena jatuh cinta pada gadis bodoh sepertimu.'' Sehun tersenyum kepada Hanna kemudian beralih pada Kris.
"Jadi kalian berkencan semalam?'' Nana beranya. "Apa Kris membawamu ke retoran mahal untuk menyatakan cinta padamu?''
"Bukankah kau pulang dari rumahku sudah cukup malam, bagaimana bisa kau pergi ke retoran mahal?'' Nayeon ikut penasaran.
"Apa kalian gila? Restoran apa? Dia hanya menyatakan cintanya di depan rumahku.''
"Tapi tidak apa-apa, akhirnya arwah gentayangan kita bisa diam.'' Rara berkata.
"Arwah apa?'' Hanna cemberut.
"Bukankah kau terus bergentayangan mengelilingi Kris tanpa di lihat Kris, tapi sekarang bukankah Kris menerimamu.''
"Aish. Kalian berisik.'' Kris memandang para gadia itu dengan kesal.
"Whoa...tidak ada yang berubah padamu.'' Rara menggoda Kris.
"Sudahlah,'' Jongin menghentikan Rara bicara lebih jauh. "Dari pada mengurusi mereka, berikan jawaban padaku.''
"Jawaban apa?''
"Kapan kita berkencan?''
"Aish!" Rara memukul kepala Jongin dengan buku. "Urusi saja para noonamu.''
"Lalu bagaimana dengan kalian.'' Lay memandang Nana dan Sehun. "Bukankah kalian begitu akur.''
Nana dan Sehun saling pandang. Tiba-tiba Sehun meraih dagu Nana, dan dengan begitu cepat sebuah kecupan di berikan Sehun kepada Nana di bibirnya.
"Kami juga akan berkencan mulai sekarang. Iya kan Na-ya?'' Sehun berkata seperti tanpa rasa canggung sama sekali.
Nana terdiam, yang lain juga terdiam menunggu reaksi gadis itu. Nana menatap Sehun yang sedang menatapnya. "Baiklah, aku akan mencoba berkencan denganmu.''
"Ya! Ya! Bagaimana denganku? Ra-ya, kau harus menerimaku!" Jongin merengek.



Hujan turun, Hanna yang akan pulang bersama Kris memilih untuk duduk di dalam kelas, menunggu hujan reda. Kris sibuk bermain ponsel membuat Hanna merasa di abaikan. Diapun menendang kaki Kris.
"Kenapa?'' Kris menyerngit.
"Apa sekarang kau benar-benar menyukaiku?''
"Memangnya kenapa?''
"Ciuman kemarin bukan hanya karena hormon kan? Itu karena kau menyukaiku.''
"Anggap saja begitu.'' Kris kembali sibuk bermain dengan game diponselnya.
"Kenapa sikapmu tidak berubah meskipun kita tengah berkencan.'' Hanna cemberut.
"Kenapa?''
"Tidak, bukan apa-apa. Karena yang terpenting sekarang kita bersama. Sedingin apapun dirimu, aku bisa menerimanya.''
Kris tersenyum. "Bodoh.''